Pengalaman Berwarna 18 Tahun yang Ditinggal Pergi Susi Ivvaty

1716

Baca juga: KAFISPOLGAMA Bentuk Platform Bantu Tetangga untuk Tanggulangi Dampak Covid-19

Dari sini, Susi langsung berpindah ke haluan lama. Pada 1999 dia menjadi wartawan Harian Bernas.

Kemudian, statusnya berganti sebagai wartawan Harian Kompas per 2001.

Dunia kewartawanan dan media massa pun menjadi ruang tumbuh bagi Susi.

Pasalnya, ibu dua orang anak ini cukup menikmati segala pergulatan pikir dan problematika di dalamnya.

“Di Kompas, saya merasakan liputan di enam desk, yakni desk Metropolitan, Kompas Minggu, Olahraga, Humaniora, Multimedia, serta Politik dan Hukum,” tutur Susi.

“Bagi saya, menjadi wartawan adalah hidup yang sungguh saya nikmati dan hayati.”

“Saya mengenal banyak karakter, berbagai peristiwa, serta seabrek persoalan, lantas menuliskan semua itu. Sementara saya sendiri ‘tenggelam’,” kenang dia.

Baca juga: KAGAMA Riau Sumbangkan APD dan Tambahan Nutrisi untuk Tenaga Medis

Satu peristiwa yang tak bisa luput dari memori Susi adalah ketika dirinya mewawancarai Parni Hardi, mantan wartawan Republika dan mantan Direktur Utama RRI, secara personal.

Kepada Susi, Parni mengatakan, “Saya merasa aneh. Selama hidup, saya menulis orang lain. Lalu, sekarang saya ditulis”.

Ungkapan Parni membuat Susi berpikir bahwa akan ada banyak lembar kertas yang dihabiskan untuk menulis seluruh pengalaman wartawan.

Walau begitu, ada hal lain yang membuat Susi betah menjadi juru tulis berita.

“Pengalaman Saya dalam teater sangat membantu pekerjaan. Saya rasa itulah yang membuat saya menikmati pekerjaan,” katanya.

Ada tiga perkumpulan teater yang dulu diikuti Susi. Yakni Teater Jiwa pimpinan Agung Waskito AR (almarhum), Sanggar Anom pimpinan Genthong Haryono Selo Ali, dan Sanggar Salahuddin UGM.

Di Sanggar Salahuddin UGM, Susi pernah mementaskan naskah karya dosen FIB UGM Achmad Munjid, Ph.D berjudul Nyai Ludirah.

Baca juga: Pimpin Universitas Bangka Belitung, Alumnus Filsafat UGM Angkatan 2001 Jadi Rektor PTN Termuda