Konsep New Normal dalam Pandangan Orang Jawa

1283

Baca juga: Presiden Jokowi: Kebijakan Normal Baru Harus Mempertimbangkan Data Sains

Atas dasar keyakinan itu, orang Jawa menilai bahwa pageblug dipahami sebagai suatu yang siklis dan peristiwanya berlangsung linier.

Konsep ini lantas dikenal dengan Cakra Manggilingan, layaknya roda berputar.

Satu-satunya hal yang bisa dilakukan dalam menghadapi pageblug adalah bukan mengalahkan, melainkan meminimalkan dampaknya.

Upaya itu ditunjukkan dengan munculnya sajak (kidung, pangkur), benda simbolis (jimat, sesaji, kuluban), hingga mitigasi berdasarkan perhitungan waktu.

Untuk hal simbolis, ada yang menyembelih kuda lalu memasak dagingnya dan membagikan kepada masyarakat.

Ada juga tradisi memasak lodeh dengan sayur tujuh rupa. Bagi Rudy, hal itu bukan tradisi simbolis semata.

“Mengapa harus sayur lodeh yang kuahnya santan atau gudangan yang sambalnya kelapa?,” ujar Rudy.

Baca juga: Empat Alumnus Fakultas Farmasi UGM Resmi Tempati Jabatan Tinggi PT Phapros

“Itu semua punya kandungan protein. Artinya, orang jawa alih-alih memenangi  pertempuran melawan pageblug, tetapi memproteksi diri membangun ketahanan diri dengan subsidi nutrisi,” sambungnya.

Adapun upaya mitigasi berdasarkan perhitungan waktu direkam dalam primbon, berasal dari kata imbu (disimpan).

Dalam primbon, beragam pengetahuan dikodifikasikan berdasarkan situasi dan waktu yang dihadapi.

Secara pribadi, Rudy menilai, setelah pageblug Covid-19 rampung, dunia akan memasuki periode lain yang diawali dengan new normal (kenormalan baru).

Kata dia, untuk menghadapi new normal, perlu sikap mudah beradaptasi.

“Orang Jawa mengenal konsep new normal dengan nirmala temah jati, jati temahan waluya. Sembuh, tapi bukan bali kaya wingi uni (kembali seperti semula),” ujar Rudy.

“Konsepnya penyakit hilang agar kembali kepada keseimbangan yang seharusnya. Dengan demikian sembuh lahir batin bangun jiwa dan raga,” pungkasnya. (Ts/-Th)

Baca juga: Normal Baru di Jogja Akan Dilakukan Secara Bertahap