Membingkai Keberagaman Ala Gus Baha

2824

Baca juga: KAGAMA Harus Ikut Membangun Bantul

Sebelum tumbuh, dia menunggu anak-anak padi yang dibawahannya untuk tumbuh duluan.

Jika sudah tumbuh, giliran padi itu berbuah.

Diumpamakan sebagai manusia, maka orang tua menunggu anak-anaknya mulia lebih dulu, baru giliran dia yang mulia.

“Kementerian Pertanian sama petani, lebih berjasa mana? Pejabat rapat berkali-kali pun kalau nggak ada petani ya nggak akan maju pertaniannya. Demikianlah barokahnya kearifan lokal dari perumpamaan padi itu,” ujarnya.

Menurut Gus Baha, barokahnya petani nggak pernah memikirkan profesi lain, maka ketahanan pangan terwujud.

“Coba mereka menjajal profesi lain, kondisinya bisa lain lagi,” jelasnya.

Terkait dengan perdebatan yang disebabkan oleh perbedaan pendapat, kata Gus Baha itu biasa.

Baca juga: Pertimbangkan Hal Berikut Sebelum Memutuskan Kuliah Dua Jurusan

Dikatakan oleh Gus Baha, para nabi pun dulu juga berdebat.

Munculnya perdebatan itu seringkali disebabkan oleh logika-logika yang tidak bisa saling bertemu.

Meskipun demikian mereka tetap berkawan.

“Demikian juga dengan beberapa orang yang kita temui saat ini. Tapi, mereka berdebat kadang karena mempertahankan ego masing-masing demi eksistensi. Keinginan untuk mempertahankan eksistensi itu jika nggak dikontrol dengan baik dengan kearifan itu, maka akan terjadi gesekan,” ujarnya.

Gus Baha menerangkan, kebudayaan kita adalah menerima kemajemukan.

Cocok atau tidak cocok tetap berani kumpul.

Kemajemukan itu muncul dari kearifan, dalam hal ini kearifan yang dimaksud sabar menunggu kebahagiaan dan tidak mementingkan diri sendiri.

Baca juga: Perjalanan Hidup Bambang Purwoko dan Dedikasinya Membangun Pendidikan di Papua

“Indonesia mulai kacau karena itu, setelah orang jadi dosen atau kiai, terutama mereka yang hanya memikirkan harta dan jabatan. Mencapai itu hanya untuk euforia sendiri, bukan untuk mendidik generasi berikutnya. Penting kita menjaga kearifan dari filosofi tanaman padi itu, ketika kita sudah mulia dan optimis, generasi berikutnya sudah siap,” ujarnya.

Untuk itu, tidak heran jika kesenjangan semakin meningkat.

Gus Baha menekankan kepada masyarakat untuk menjaga kearifan yang mendukung terpeliharanya kemajamukan, namun juga meninggalkan budaya yang tidak baik dipertahankan.

Dalam kesempatan tersebut, Kaprodi S1 Kehutanan, Dr. Widyanto Dwi Nugroho, S.Hut, M.Agr, mengutarakan bahwa memahami keberagaman itu penting, supaya mahasiswa tidak hanya fokus pada disiplin ilmunya.

“Di samping itu hal yang lebih besar adalah anak muda bisa lebih menghargai kemajemukan yang ada di Indonesia,” ungkapna.

Dalam cara tersebut hadir juga Dekan Fakultas Kehutanan UGM, Dr.Budiadi, S.Hut, M.Agr. (Kinanthi)

Baca juga: Perjalanan Mengharu Biru Widyanto Sampai Menjadi Dosen Kehutanan UGM