Membingkai Keberagaman Ala Gus Baha

2824

Baca juga: Gelar Pameran Keris, RSUP Dr. Sardjito Ingin Menjadi Rumah Sakit Berbudaya

Namun, teori tersebut bisa dipatahkan oleh orang awam yang justru bisa berpikir lebih sederhana dalam menentukan hari awal bulan ramadan.

“Uniknya Indonesia itu seperti ini, tidak meneliti sesuatu secara akademik maupun secara awam. Dengan adanya orang awam yang mampu berpikir dengan lebih sederhana itu, menunjukkan bahwa Allah selalu punya cara untuk membantu orang awam paham,” ujar Gus Baha.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, ada pemimpin besar yang pintar, tetapi masih ada kesenjangan di masyarakat, bagi Gus Baha ini ironis.

“Merujuk pada sebuah pepatah, ilmu itu punya keangkuhan sebagaimana angkuhnya orang yang punya harta,” tandas Gus Baha.

Keangkuhan itu, kata Gus Baha, terletak pada tindakan kita yang memposisikan diri sendiri sebagai subyek dan memposisikan orang lain sebagai obyek.

Budaya sejatinya dibentuk oleh masyarakat.

Kesenjangan yang ada itu terbentuk, karena orang-orang pintar yang menganggap orang lain sebagai objek atau ‘pemutus sesuatu’.

Baca juga: Munas KAGAMA ke XIII Bakal Jadi Ruang Diskusi untuk Wujudkan Cita-cita Kebangsaan

Padahal semua orang itu subyek, mereka semua berperan memajukan Indonesia.

Lain situasi, misalnya perjuangan orang tua untuk memberikan yang terbaik kepada anak.

Gus Baha bercerita, ada petani menyekolahkan anak hingga menjadi profesor.

Tiba saatnya profesor itu mendidik anak, sang anak justru bersekolah hanya memikirkan perkara naik pangkat dan cari uang.

Gus Baha kemudian bertanya, ‘petani dan profesor sebetulnya pintar siapa?’.

Petani yang katanya berpendidikan rendah, sebetulnya punya kepintaran yang tidak kita sadari.

Gus Baha menjelaskan, manusia yang baik itu ibarat padi.

Baca juga: Lantik Pengurus Baru, Ganjar Imbau Kagamadok Sampaikan Gagasan Soal Jaminan Kesehatan