Irfan Dwidya, dari yang Sering Berkelahi di Sekolah Sampai Raih Dua Gelar Profesor

2624

Berkali-kali ke Jepang

Diceritakan oleh Irfan, saat kuliah Irfan dicalonkan oleh pembimbingnya untuk melanjutkan penelitian Bioteknologi di Jepang.

Namun, karena terkendala administrasi dan kondisi keluarga yang sedang berduka setelah Ayahnya wafat, Irfan tak bisa berangkat.

Beruntung, hal ini digantikan oleh keberuntungan lain.

Menjelang lulus, Irfan mendapatkan tawaran beasiswa dari UNESCO untuk mengikuti Kursus Pascasarjana di bidang Mikrobiologi, yang diselenggarakan di Department of Fermentation Technology, Faculty of Engineering, Osaka University, Osaka, Jepang.

“Kalau saya dinilai mampu, saya akan berusaha. Tetapi, saya sempat khawatir tidak lolos. Kebetulan saya aktivis di Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Waktu itu, pemerintah tidak menyukai aktivis,” ungkapnya kepada KAGAMA belum lama ini.

Walaupun begitu, para dosen terus mendorongnya untuk mencoba.

Akhirnya Irfan mendaftar dan lolos seleksi untuk berangkat ke Jepang.

“Sampai di sana saya merasa bodoh sendiri. Padahal IPK saya cumlaude. Cumlaude saja bodoh. Benar-benar saya tidak memahami yang diajarkan di sini,” ungkapnya.

Namun, hal ini tak membuat Irfan pantang menyerah.

Ia kemudian rajin belajar di laboraturium.

Selesai menyelesaikan kursus, Irfan bertekad untuk melanjutkan studi, asalkan dengan beasiswa.

Keinginannya itu terwujud berkat bantuan dari profesornya di Osaka University.

Dari titik ini, Irfan menghadapi tantangan baru, menempuh studi di perguruan tinggi bukan internasional, sehingga ia harus banyak belajar bahasa Jepang.

Irfan menempuh studi di Osaka University hingga ke jenjang S3.

Sepulangnya dari Jepang tahun 1996, Irfan bekerja sebagai dosen di Fakultas Pertanian UGM.

Tak lama setelah itu, Irfan mendapatkan tawaran bekerja di Malaysia.

Namun, karena mempunyai perbedaan pandangan dengan orang-orang, ia memutuskan tidak mengambil tawaran tersebut. Kembalilah Irfan ke pangkuan UGM.

Sejak saat itu, Irfan mulai mendapatkan posisi struktural sebagai anggota senat universitas hingga ia meraih gelar profesornya.

Diakui perjuangannya itu tak mudah. Irfan harus mengumpulkan empat puluh paper untuk jadi profesor.

Berkat kesetiaannya mengabdi di UGM dan memiliki sepak terjang sebagai akademisi di Jepang, Irfan meraih dua gelar profesor; di Osaka University (collaborative professor) dan UGM.

Selain mengajar di UGM, ia beberapa kali memberikan kuliah di Ibaraki University, Jepang tahun 2012.

Hampir dua tahun sekali Irfan ke Jepang untuk berbagai acara seperti seminar, simposium, dan pertemuan ilmiah.

Mengabdi pada UGM dan Masyarakat

Perjalanan karier Irfan terus berlanjut.

Pria kelahiran 57 tahun lalu itu, menorehkan berbagai prestasi dengan berbagai penelitian, publikasi, pengabdian masyarakat, hingga mendapatkan beberapa kali jabatan struktural sebagai bentuk dedikasinya terhadap UGM.

Selain kegemarannya mendaki gunung, Irfan juga terkesan dengan masa-masa ia menjadi aktivis di GMNI sewaktu masih kuliah.

Dari organisasi ini, ia banyak belajar tentang masyarakat.

Saat ini, Irfan sedang disibukkan dengan kegiatan penelitian bersama mahasiswanya.

Sebagai dosen yang saat ini juga menjabat sebagai Direktur Direktorat Pengabdian Kepada Masyarakat (DPKM), ia sedang berusaha melakukan perubahan yang lebih baik untuk KKN UGM.

“Jika perubahan sudah direalisasikan oleh DPKM, saya ingin mengeksplorasi lagi di tempat lain, agar lebih tertantang lagi,” tandasnya. (Kinanthi)