Melihat Sawit dari Dekat, Primadona yang Teraniaya

764

Primadona yang Teraniaya

Ada kekhawatiran yang dirasakan Teguh selaku pelaku industri minyak kelapa sawit. Jika minyak kelapa sawit terhambat pengembangannya, maka tambahan permintaan dunia akan minyak nabati dan lemak dengan sendirinya harus dipenuhi dari negara-negara subtropis.

“Artinya lahan yang diperlukan akan lebih luas dan emisi karbon yang dihasilkan akan lebih tinggi. Ini masa depan Indonesia sebagai negara tropis,” tandasnya.

Pasalnya, perbandingan minyak nabati yang dihasilkan oleh kelapa sawit dibandingkan dengan tanaman-tanaman lain, sungguh menakjubkan. Produktifitas minyak nabati hasil dari kelapa sawit hingga 10 kali lipat dibanding minyak nabati lainnya.

Tak hanya itu, seperti yang dilakukan Teguh selama ini, tanaman sawit berpotensi untuk reboisasi lahan-lahan terbuka dan terlantar yang tidak memiliki nilai ekonomi dan nilai konservasi.

Ditambah lagi, ramalan USDA pada 2045-2050 mendatang, 56 persen dari 660 juta ton kebutuhan minyak nabati dunia disuplai dari tanaman sawit.

Industri Kelapa Sawit.(Foto: Nabil)
Industri Kelapa Sawit.(Foto: Nabil)

Sementara sekarang ini, sebanyak 32 persen dari 205 juta ton kebutuhan minyak nabati dunia disuplai dari sawit. Hanya seluas 21 juta hektar lahan yang dibutuhkan untuk menyuplai minyak tropis sebanyak itu pada tahun 2016.

“Sedangkan lahan yang dibutuhkan untuk memproduksi minyak subtropis seperti minyak kedelai, bunga matahari, minyak jagung membutuhkan lahan seluas 236 juta hektar. Perbandingan produktifitasnya sudah jelas,” papar alumnus Fakultas Kehutanan UGM angkatan ’68 ini.

Secara terpisah, Guru Besar Bidang Pemuliaan Pohon dan Silvikultur Fakultas Kehutanan UGM Prof. Dr. Mohammad Naim juga menambahkan, produktifitas kelapa sawit tidak melulu soal luas tanah.

Dari pohon-pohon yang menghasilkan tandan yang bagus, kata Naim, bisa dikembangkan secara kultur jaringan. Dalam hal ini rekayasa genetik dapat menghasilkan bibit unggul dan sisa lahan yang ada dapat dimanfaatkan untuk aktivitas lain.

“Jadi nanti bibitnya seragam dan tidak ada variasi,” ucapnya.

Menurut Teguh, serangan NGO selama ini dapat diduga karena dilatarbelakangi oleh persaingan minyak nabati produk daerah sub-tropis, ditambah dengan kurang atau tanpa adanya perlindungan pemerintah terhadap industri minyak sawit.

Ia melihat pendiskreditan terhadap industri kelapa sawit sebagai bentuk black campaign oleh kompetitor-kompetitor industri minyak nabati di luar Indonesia yang tidak ingin industri kelapa sawit Indonesia semakin maju di kemudian hari.