Masyarakat Yogyakarta Terbukti Tabah dalam Menghadapi Bencana Gempa

1387

Baca juga: Rekomendasi Pakar UGM untuk Perbaikan Sistem Pelayanan Kesehatan

Amitya dan Yuli mengambil data dari subjek melalui beberapa pertanyaan yang hasilnya berbasis skala.

Pertanyaan itu terkait strategi pemecahan masalah dan religi atau kepercayaan.

Dari hasil analisis yang diperoleh, masyarakat Yogyakarta khususnya Bantul, merasa hidup dengan perasaan senasib, sepenanggungan, kebersamaan, kekeluargaan, dan saling berbagi.

Kemudian, bisa menerima keadaan, patuh dengan pemimpin atau tokoh masyarakat, serta bergotong-royong.

Aspek perasaan itu semua muncul baik sebelum atau pun pasca kejadian gempa bumi.

Bahkan sudah ada sejak ratusan tahun lalu ketika republik belum terbentuk.

Baca juga: Tiga Hal Penting yang Membuat Wahyudi Anggoro Hadi Kembali ke Desa

Amitya dan Yuli menilai, hal itu telah menjadi ciri khas dan modalitas utama. Yakni dalam dinamika sosial dan budaya masyarakat Yogyakarta, khususnya Bantul.

Adapun dari 32 motif pemaknaan terhadap bencana, mayoritas masyarakat memilih mengartikan bencana sebagai: 1. kehendak Tuhan melalui alam, 2. karena fenomena alam.

Masing-masing pemaknaan tersebut dipilih oleh 10 orang responden.

Menyusul di belakangnya ada kehendak Tuhan yang tidak bisa dihindari (8 orang), dan ada pergeseran lempeng bumi (6 orang).

Pada dasarnya, 56 orang (70 persen) dari total responden mengaitkan bencana dengan sisi ketuhanan.

Karena itu, mereka percaya bahwa kejadian bencana alam adalah ketentuan Tuhan yang tak bisa dihindari dan harus diterima oleh manusia. Yakni sebagai bentuk konsekuensi umat manusia sebagai hamba-Nya. (Ts/-Th)

Baca juga: Siasat Aini dalam Memperpanjang Umur Gerakan Canthelan