Pemuka Arwah Tanah Jawa Berkumpul di Kraton Surakarta saat Malem Selikuran Ramadan

1404

Baca juga: Bagaimana Cara Sedekah Mampu Mengubah Taraf Hidup Manusia?

Kelima, yakni Seni Samroh yang terdiri atas terbang dan kecer.

“Pemusik samroh rata-rata anak remaja. Jelas mereka bersemangat,” ujar Purwadi.

“Mereka berpakaian layaknya santri, peci haji, baju koko putih dan sarungan. Lagu-lagu yang dibawakan kebanyakan syair-syair pujian khas pondok pesantren.”

Keenam, ada utusan Pakasa (Paguyuban Kawula Kraton Surakarta). Merekalah masyarakat yang punya kepedulian dengan keberadaan kraton dan menjadi abdi dalem. Utusan Pakasa berasal dari seluruh dunia.

“Berada di belakang prajurit, laras madya dan seni samroh, mereka berjalan mengelilingi beteng kraton,” kata Purwadi.

“Mulai dari Kemandungan ke timur, lalu ke selatan, ke barat, ke utara, ke timur sampai pintu gapit. Lantas dilanjutkan ke jalan Supit Urang arah Pasar Klewer.”

“Tiba saatnya berada di Masjid Agung Kraton Surakarta. Masyarakat berjubel untuk mendapat tumpeng sewu,” paparnya.

Baca juga: Masyarakat Perlu Berhati-hati Mengonsumsi Suplemen

Purwadi memandang, orang Jawa mengasosiasikan keutamaan seribu bulan dengan menyediakan tumpeng yang berjumlah lebih dari seribu buah.

Dengan demikian, jadilah acara puncak yakni Wilujengan Tumpeng Sewu. Tumpeng sewu dimasak oleh abdi dalem. Terdapat ketan, sega golong, kuluban, telur dan ikan asin di dalamnya.

Tumpeng ada yang dimakan di tempat dan ada pula yang dibawa pulang sebagai berkat.

Pembagian tumpeng dilakukan setelah doa dalam Bahasa Arab dan Jawa dipanjatkan.

“Lebih dari itu, tumpeng sewu mengandung barokah yang membawa kemakmuran, keberuntungan dan kebahagiaan,” pungkasnya. (Ts/-Th)

Baca juga: Memori Berkesan Rildo Ananda Anwar di UGM: Tiduran di Bawah Pohon Sambil Menunggu Buka Puasa