Literasi Penting untuk Tangani Penderita Gangguan Kesehatan Mental

445

Baca juga: Kelompok Tani di Kulonprogo Perlu Saling Bertukar Wawasan untuk Hasilkan Inovasi

Hal itu berarti 1-2 orang dari 1.000 penduduk Indonesia mengalami gangguan jiwa.

Selain itu, data lain menunjukkan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat nasional pada tahun 2013 mencapai enam persen dari 37 ribu orang yang diteliti.

Data lain yang juga menjadi pertimbangan dalam penelitian ini adalah angka bunuh diri di Indonesia yang meningkat.

Data tersebut menerangkan bahwa peningkatan angka bunuh diri di Indonesia meningkat dari 1,6 hingga 1,8 tiap 100 ribu penduduk.

Mirisnya, data tersebut mengungkapkan bahwa kejadian bunuh diri tertinggi terjadi pada kelompok usia muda.

 

Usia muda yang dimaksud adalah pada rentang usia 15 hingga 24 tahun.

Fenomena bunuh diri di Indonesia pun meningkat pada beberapa kelompok masyarakat.

Kelompok masyarakat tersebut mencakup pengungsi, remaja dan mastyarakat sosial ekonomi rendah, dari data WHO (World Health Organization) tahun 2012.

Dalam penelitian ini, Novianty dan Hadjam berpendapat bahwa literasi kesehatan mental dan sikap komunitas terhadap gangguan mental memprediksi pencarian pertolongan formal.

Pencarian pertolongan formal terkait gangguan mental adalah niat atau upaya proses pengatasan adaptif individu yang mencoba memperoleh pendampingan eksternal.

Baca juga: Akademisi UGM Peraih Anugerah DIKTENDIK Berprestasi 2019, Tegaskan Pentingnya Hilirisasi Riset

Pendampingan ekternal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tenaga profesional kesehatan yang menangani kesehatan mental.

Dalam melakukan penelitian ini, Novianty dan Hadjam menggunakan 168 responden.

Untuk tempat tinggal responden difokuskan pada warga perkotaan.

Temuan di lapangan menunjukkan, pencarian pertolongan formal terhadap gangguan kesehatan mental dipengaruhi secara signifikan oleh literasi kesehatan mental dan sikap komunitas terhadap gangguan mental.

Literasi kesehatan mental memberi sumbangan secara efektif dan sikap komunitas terkait gangguan mental secara bersama-sama terhadap pencarian pertolongan formal sebesar tujuh persen.

Dari temuan tersebut, Novianty dan Hadjam menyarankan agar tenaga profesional kesehatan mental melaksanakan program pengenalan dan layanan kesehatan mental.

Seperti yang dilakukan di negara-negara maju, yang menyasar  remaja dan anak-anak  di sekolah.

“Apabila program pengenalan dan layanan kesehatan mental akan diadaptasi, disarankan sasaran modul tentang program tersebut tak hanya target individual, melainkan dapat menyasar komunitas di tempat individu tersebut tinggal,” tulisnya.

Hal ini disebabkan adanya keterkaitan antara literasi kesehatan mental dan sikap komunitas terhadap pencarian pertolongan formal. (Ezra)

Baca juga: Sebanyak 14 Mahasiswa Asal Papua Kuliah di Rusia