Alasan Kelompok Radikal Nekat Lakukan Aksi Teror Berkedok Agama

404

Baca juga: Wajah Islam Ada di Indonesia

Selain aksi pemboman dan peledakan, sebagian aktivis Islam garis keras lainnya terlibat dalam konflik komunal antar-agama.

Hal itu seperti yang terjadi di Poso, Sulawesi Tengah, pada 1998, ketika warga Muslim dan Kristen terlibat konflik.

Landasan yang menguatkan alasan kelompok radikal melakukan aksi teror adalah menganggap dirinya sebagai aktor protagonis.

“Para aktivis menolak disebut fundamentalis atau bahkan sebutan radikal itu sendiri. Karena, dalam pandangannya nilai dan norma Islam membentuk sebuah kesatuan diri doktrin Islam,” tulis Eric Hiariej.

Sebagaimana pendapat para pakar, ketimbang disebut sebagai radikal dan fundamentalis, mereka lebih suka mengklaim dirinya merupakan representasi Islam yang benar dan otentik.

Baca juga: Begini Cara Dubes Djauhari Memotivasi Mahasiswa Indonesia di Tiongkok

Keyakinan diri sebagai kelompok yang terpilih dan terpenting membuat mereka percaya memiliki kewajiban untuk memikul tanggung jawab pengimplementasian Shari’a, mendirikan negara Islam, dan mempraktikkan jihad dan dakwah.

Sistem baru yang sesuai dengan konsep Shari’a pun dipandang mesti diperjuangkan baik dengan cara damai maupun kekerasan, untuk menggantikan rezim politik Indonesia yang menurut mereka tidak sah ditinjau dari sudut pandang Islam.

Selain menganggap sebagai aktor protagonis, kelompok radikal, menurut Eric, telah menciptakan konsep musuh secara imajinatif dalam pola pikir mereka.

Kelompok dari agama lain, zionis dan Barat, lalu Warga Indonesia keturunan Cina dan komunis menjadi perhatian mereka.

Bahkan, pemerintah, angkatan bersenjata, polisi, partai politik, figur intelektual, politisi, aktivis mahasiswa, bisa menambah daftar musuh kelompok radikal.

Aksi yang dilakukan kelompok radikal untuk mewujudkan misinya tentu tidak dibenarkan dalam agama apa pun.

Sebab, pendekatan yang mereka ambil menyalahi norma kemanusiaan.

Paus Fransiskus, sebagaimana rilis Kompas dalam kunjungannya ke Benua Afrika untuk membantu mencari penyelesaian konflik antara Muslim-Kristen, menyeru, ”Kekerasan dan kebencian dengan mengatasnamakan Tuhan adalah sesuatu yang tidak bisa dibenarkan.” (Tsalis)

Baca juga: Pukat UGM: Tidak Ada Urgensi Mengubah UU KPK