Perjuangan Althaf, Mahasiswa Penyandang Tunarungu, Selesaikan Kuliah di UGM

1241
Muhammad Erwin Althaf (24) penyandang tunarungu yang menempuh Program Sarjana Ilmu Peternakan UGM dan baru saja menjalani sidang pendadaran. Foto : Humas UGM
Muhammad Erwin Althaf (24) penyandang tunarungu yang menempuh Program Sarjana Ilmu Peternakan UGM dan baru saja menjalani sidang pendadaran. Foto : Humas UGM

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Hidup sebagai penyandang tunarungu bukan halangan bagi Muhammad Erwin Althaf (24) untuk kuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Saat ini Althaf tengah menempuh Program Sarjana Ilmu Peternakan UGM dan baru saja menjalani sidang pendadaran pada Selasa (18/9/2019) silam.

Kala mengikuti sidang pendadaran, Althaf pun melakukan presentasi seperti mahasiswa lainnya.

Dengan terbata-bata dan suara yang tidak begitu jelas dia terus berusaha menjelaskan hasil penelitian tentang Pengaruh Penambahan Bungkil Jintan Hitam Terhadap Konsumsi dan Kecernaan Pada Domba Merino sembari menampilkan power point untuk memudahkan dosen penguji memahami apa yang tengah disampaikan.

Saat itu dia juga dibantu interpreter dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel UGM untuk menuliskan pertanyaan yang dilontarkan dosen penguji, lalu menyampaikan jawaban dengan mengetik jawaban yang ditampilan di layar LCD.

Ditemui usai pendadaran, Althaf mengatakan selama kuliah tidak merasakan kesulitan yang berarti karena juga dibantu teman-temanya.

Di kelas dia masih bisa memahami materi yang disampaikan dosen melalui power point atau tulisan di papan.

Kendati begitu, bukan berarti dia sama sekali tidak pernah mengalami kesulitan di kelas.

“Kesulitan kalau dosen menjelaskan tidak disampaikan secara visual dan materi berbeda dengan yang ada power point,” jelasnya.

Melalui teks yang ditulis di handphone, Althaf menuturkan dia sempat merasa minder dengan keadaannya yang tidak bisa mendengar dengan jelas layaknya teman-teman lainnya.

Dia mengalami tuli parsial sejak lahir dan hanya bisa mendengar suara dengan desibel tinggi seperti bunyi klason, tepuk tangan, dan keriuhan.

“Pernah depresi, dapat nilai D sementara teman-teman lainnya tidak ada yang dapat D, saya merasa jadi tidak setara dengan yang lainnya,”sebut pria kelahiran Semarang, 30 Januari 1995 ini.

Pengalaman tidak mengenakkan juga pernah dialami Althaf saat dia akan memasuki bangku pendidikan dasar.

Waktu itu dia ditolak masuk di beberapa sekolah dasar (SD) negeri karena keterbatasan yang dimilikinya.

Namun, akhirnya ada satu SD swasta di Semarang yang menawarkan diri menerima Althaf untuk menempuh pendidikan di sana.

Pilihan Althaf menerusakan pendidikan di sekolah umum, bukan di sekolah luar biasa (SLB) tidaklah datang begitu saja. Sebelumnya, sejak usia 3,5 tahun dia telah bersekolah di SLB.

Sepanjang waktu itu dia terus menjalani serangkaian pemeriksaan di dokter ahli.

Hasil pemeriksaan menyatakan bahwa Althaf hanya mengalami keterbatasan dalam mendengar, tetapi tidak untuk hal lainnya termasuk kecerdasan normal.

Dokter pun menyarankan pada orang tua Althaf untuk memasukannya ke sekolah umum sehingga Althaf menempuh pendidikan SD dan sekolah menengah pertama (SMP) di sekolah umum di Semarang.

Walau memiliki keterbatasan, Althaf termasuk mandiri, buktinya dia berani hidup jauh dari orang tua dengan melanjutkan pendidikan sekolah menengah atas (SMA) di Yogyakarta.

Berkat ketekunan dalam belajar menjadikannya selalu memiliki nilai akademik yang bagus, Althaf berhasil masuk UGM tanpa tes melalui jalur SNMPTN Undangan.

Diakunya bukanlah hal mudah menjalani hidup dengan keterbatasan pendengaran, Althaf berusaha mensyukuri kondisi yang ditakdirkan Tuhan untuknya. Dia yakin bahwa ada rencana lain yang sudah digariskan padanya.

“Keterbatasan ini bukan penghalang untuk menggapai mimpi dan sukses,” tegas Althaf yang aktif tergabung dalam UKM Peduli Difabel UGM.

Menurutnya, semua orang termasuk penyandang disabilitas bisa terus berkarya, berkontribusi bagi masyarakat dan bangsa bahkan menjadi sukses.

Dengan ketekunan, kegigihan, dan kerja keras dia yakin bisa membuhkan hasil yang baik.

Meskipun saat ini Althaf telah melalui sidang pendadaran, tetapi dia masih mengambil satu mata kuliah untuk memperbaiki nilai sehingga diharapkan nantinya bisa meraih predikat cumlaude.

Setelah lulus sarjana dia berencana akan melanjutkan studi S2, memperdalam ilmu di alamaternya.

Tunarungu Sejak Lahir

Althaf adalah anak pasangan Dr.drg.Edi Sumarwanto, MM., MH.Kes dan drg.Eny Rusdaningsih, Sp.KG.

Terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara, Athfal kehilangan pendengaran sejak lahir.

Edi bercerita, kala itu dia dan isteri akan berangkat haji sehingga diberikan vaksin meningitis, dan berbagai obat-obatan antibiotik sebelum berangkat ke tanah suci.

“Waktu itu isteri dinyatakan tidak hamil dan di vaksin serta diberi obat-obatan sebelum haji, tapi ternyata sudah hamil muda.”

“Setelah lahir dan di usia 10 bulan terlihat ada yang berbeda dengan Athfal kok pendiam tidak kagetan,” ungkapnya.

Melihat ada yang tidak normal pada anaknya, Edi pun melakukan berbagai pemeriksaan bahkan hingga ke Australia untuk mengupayakan sang anak bisa mendengar.

Namun dokter menyatakan bahwa kemungkinan Althaf bisa mendengar sangatlah kecil.

Akhirnya dia hanya bisa menerima kondisi tersebut bahwa itu sudah menjadi takdir sang anak.

Althaf merupakan salah satu sosok mahasiswa penyandang disabilitas yang menempuh pendidikan UGM.

Selain Althaf, saat ini terdapat 14 mahasiswa penyandang disabilitas yang juga tengah menjalani kuliah di UGM.

Kepala Bidang Humas dan Protokol UGM, Dr.Iva Ariani, S.S., M.Hum., mengatakan bahwa UGM terus berkomitmen untuk memperhatikan hak mahasiswa penyandang disabilitas agar dapat menjalani perkuliahan dengan baik.

Hal tersebut diwujudkan dengan pengembangan bangunan atau sarana fisik yang aksesibel bagi mahasiswa penyandang disabilitas.

Disamping itu menerapkan sistem pengajaran yang ramah disabilitas.

Kebijakan yang diterapkan bagi para mahasiswa difabel adalah inklusi yang memungkinkan mereka untuk mengikuti proses belajar mengajar dalam satu kelas dengan mahasiswa lainnya.

Dosen pun dibekali dengan wawasan bagaimana memperlakukan keterbatasan tersebut.

“Mahasiswa difabel disini tidak dibedakan dengan mahasiswa lainnya” katanya.

Kendati begitu, Iva mengakui bahwa saat ini belum semua pembelajaran di UGM menyentuh kebutuhan mahasiswa difabel.

Oleh sebab itu melalui Pokja Difabel, UGM berusaha merancang dan merumuskan metode pembelajaran khusus yang dapat mengakomodir kebutuhan para mahasiswa tersebut.

Sementara untuk layanan bagi mahasiswa difabel, dikatakan Iva UGM menerapkan layanan yang didesain dapat mengakomodir permohonan informasi mahasiswa difabel, salah satunya dengan adanya petugas yang memiliki keterampilan bahasa isyarat.

“Sekarang memang belum ada Unit layanan Disabilitas, tetapi di 2020 mendatang akan ada unit layanan khusus bagi mahasiswa difabel,” sebutnya.

UGM juga memiliki Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Peduli Difabel yang kegiatannya memberikan dampak positif bagi mahasiswa penyandang difabel.

Unit ini juga memfasilitasi kebutuhan mahasiswa difabel, termasuk saat seleksi masuk UGM. (Humas UGM/Ika)