Baca juga: Pemilik Moto ‘Ora Pati Pinter Tapi Kagama’ Ini Jadi Lulusan Tercepat
Kabar tersebut sampai ke telinga pria kelahiran Blitar ini setelah diberitahu oleh salah seorang staf konsulat jenderal RI di Jenewa.
“Pak, ini kita ditawari jadi presiden, tapi jangan diterima,” kata Ghufron menirukan salah seorang staf konsulat jenderal.
Lantas Ghufron menjawab, ”Lho, kenapa tidak diterima? Indonesia sudah pernah belum?” “Oh, belum pernah, Pak,” sambung salah seorang staf konsulat jenderal itu.
Mendengar jawaban itu, Ghufron bingung karena kesempatan yang langka ini mengapa mesti disia-siakan.
“Bayangkan, menjadi vice president saja setiap 12 tahun,” ucap Ghufron kepada Kagama.
Staf konsulat jenderal itu menyampaikan kepada Ghufron, mungkin saja WHO tidak tulus memberikan mandat kepada Indonesia.
Dia mencium ada gelagat politik tersembunyi.
Baca juga: Pelayanan Kesehatan di Wilayah Terpencil Bengkulu Belum Maksimal
“Ini tidak bagus, Pak. Nanti kalau ada apa-apa bagaimana? Yang tanggung jawab siapa? Ini membawa nama negara, Pak,” ucap mantan dekan FK-KMK UGM ini menirukan ucapan yang dia dengar.
Menurut pandangan sang staf konsulat, jika WHO tulus memberi mandat, tentu sudah jauh-jauh hari diberi tahu.
Ghufron pun meminta tolong dihubungkan dengan Dubes RI untuk Swiss kala itu, Djoko Susilo, guna mendapatkan pertimbangan.
Sayang, Pak Dubes tidak bisa dihubungi karena tengah menjemput kedatangan Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa.
Alhasil, akumnus Fakultas Kedokteran UGM angkatan 1988 ini ‘nekat’ mengambil kesempatan langka bagi Indonesia menjadi presiden WHA.
Tak lama setelah itu, Ghufron menghadap ke kantor pusat WHO untuk melakukan menyatakan kesediaan menjadi presiden WHA sekaligus gladi bersih sebelum sidang.
Sidang itu pun cukup unik karena Ghufron, yang notabene merupakan wakil menteri, memimpin 189 menteri-menteri kesehatan partisipan dari seluruh dunia.
Baca juga: Mengasuh Remaja dengan Tepat Agar Tidak Bermasalah
