Cerita Mahasiswa UGM yang Nyambi Menjadi Guru

859
Mahasiswa mengajar.(Foto: PMKT UGM)
Mahasiswa mengajar.(Foto: PMKT UGM)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Bercita-cita menjadi guru nampaknya masih jarang dimiliki oleh mahasiswa UGM. Bercita-cita sebagai pendidik pun, mereka cenderung memilih profesi sebagai dosen.

Akan tetapi,  bukan berarti profesi guru dijauhi oleh mahasiswa UGM, karena ternyata ada juga mahasiswa UGM yang mau menjadi guru. Bahkan mereka berkerja sebagai guru di saat belum melepaskan status sebagai mahasiswa

Nadine Kusuma misalnya. Menurut perempuan yang sedang menempuh studi di jurusan Sastra Inggris ini, bekerja sebagai guru merupakan salah satu terapi guna menyembuhkan permasalahan psikologis yang pernah dialaminya

“Aku jadi guru sejak 3 bulan yang lalu karena  sedang butuh uang. Kebetulan saat itu  salah seorang teman yang aktif di bidang terapi psikologi menyarankan agar aku bisa kerja sembari menyembuhkan masalah psikologis yang kualami. Oleh karena itu, aku pilih jadi guru di TK Ceria,” ujarnya kepada Kagama, belum lama ini.

Tentu saja, bekerja sembari kuliah membuat Nadine harus pandai mengatur waktu. Akan tetapi masalah tersebut bisa disiasatinya dengan memilih jam kerja yang tak berbenturan dengan jadwal kuliahnya.

“Aku malah seneng bisa ngajar. Kan di sana bisa seneng-seneng, sementara di kampus spaneng karena banyak tugas,” tambah Nadine

Cerita yang sedikit berbeda diutarakan oleh Wildan Habibi. Sejak setahun yang lalu, mahasiswa lmu Sejarah yang memiliki nama panggilan Gus Habibi ini menjadi pengajar di Pondok Pesantren Al Salafyah Mlangi. Di sana ia mengampu tiga mata pelajaran sekaligus.

“Saya bisa memegang 3 pelajaran sekaligus yakni Nahwu (gramatika arab), Tarikh (sejarah islam) dan Qiroatul Kutub (kelas latihan membaca kitab kuning). Karena sebelumnya, selama enam tahun mondok saya telah lulus mengaji kitab Ibtida’ (permulaan), Jurumiyah, Imriti, Alfiyah Awal,  Alfiyah Tsani (2), serta Maknun,” tutur Habibi.

Uniknya, pekerjaan Habibi bisa dibilang sebagai kerja-kerja pengabdian, karena ia tidak menerima bayaran sama sekali.

Meski demikian, bukan berarti Habibi mencurahkan seluruh waktu yang ia miliki ke pondok pesantren. Penggemar berat Gus Dur ini mengaku masih berpikir rasional agar jadwal pengabdiannya tidak menganggu aktifitasnya di kampus

“Kelas di pondok ada 3, sore, habis isya-jam 10, dan subuh. Karena sore biasanya masih di kampus, maka saya meminta jadwal saya mengajar dibuat sehabis isya dan subuh,” pungkasnya mengakhiri wawancara dengan Kagama.(Venda)