Ada yang Hilang dari Kuliner Klebengan | oleh Adibah RA

847
Sang penyelamat perut mahasiswa di akhir bulan, begitulah kira-kira gelar pahlawan yang disandangkan oleh para mahasiswa. Foto: Kinanthi
Sang penyelamat perut mahasiswa di akhir bulan, begitulah kira-kira gelar pahlawan yang disandangkan oleh para mahasiswa. Foto: Kinanthi

oleh Adibah RA*

SEBAGAI mahasiswa Kampus Bulaksumur siapa yang tidak tahu tentang Angkringan Pak Panut. Angkringan yang terletak di sudut GOR Klebengan ini telah sejak lama didirikan tepatnya pada tahun 1992. Jika dilihat sekilas, angkringan ini selalu menjadi warung paling ramai di tengah pilihan makanan di foodcourt klebengan.

Tak hanya itu, angkringan yang buka mulai pukul 10.00 hingga 00.00 WIB juga menyediakan berbagai macam pilihan makanan tentunya dengan harga yang sangat bersahabat.

Sebuah akun dari twitter (@Ttxtdariugm) memposting berita meninggalnya sosok baik dan ramah itu. “Rest in Power Pak Panut. Terima kasih telah menyelamatkan kami mahasiswa akhir bulan yang dompetnya udah menipis diselamatkan oleh sego kucing Rp1500 (bahkan dulu sempat harganya Rp1000) dan gorengan Rp500 dapat dua. Semoga kebaikan bapak menjadi amalan yang tidak terputus.

Dilansir dari kagama.co, almarhum menjalankan usaha ini dibantu istri dan dua orang pegawai. Harga yang dibandrol pun cukup murah, dari Rp500 untuk gorengan, Rp2000 untuk sate dan minuman, serta Rp1500 untuk seluruh jenis nasi bungkus saat itu.

Menu khas bebakaran adalah yang paling banyak dicari. Hingga sehari angkringan ini bisa menjual hingga 500 nasi bungkus. Tak hanya nasi bungkus, gorengan, dan printilan lain pun tak ayal sering diburu mahasiswa.

Senin 19 Juli 2021, tepat beliau dipanggil oleh Sang Pemberi Kehidupan. Pagi hari (20/07/2021) pun beruntut kalimat dukacita terpanjat melalui akun sosial media (baca: twitter) sehingga menjadikannya salah satu trending hari itu dengan lebih dari 4000 tweet dalam semalam.

Begitu besar jasa dan usaha beliau kepada para mahasiswa. Dari kabar yang beredar sebagian besar mahasiswa yang pernah makan di sana mengakui bahwa tak hanya harganya yang ramah di kantong, akan tetapi rasanya juga tidak kalah enak dengan angkringan lainnya.

Bahkan saya sendiri telah membuktikannya. Pernah saya di awal tahun kuliah terkejut karena total harga dari menu yang saya habiskan tidak mencapai angka 10 ribu rupiah, dengan beberapa bungkus nasi, mendoan, juga es teh.

Beberapa guyonan juga terdengar dari kalangan mahasiswa, tentang apakah beliau tidak menghitung benar saat melakukan pembayaran. Atau bahkan ada yang bilang jika Pak Panut memang didanai UNICEF untuk mengurangi krisis pangan mahasiswa berkembang (sumber twitter account: @sulthanfarras_). Hal ini memang akan mengejutkan ‘saking’ murah dan enaknya sehingga konsumen bisa makan tanpa perlu khawatir kalau nanti tidak bisa bayar.

Sebuah artikel dari Bang Rizky Prasetta (mojok.co) juga turut menggambarkan dengan jelas bagaimana usaha bisnis almarhum telah menjadi penyelamat bagi mahasiswa dengan kantong cekak tapi tetap ingin makan enak.

Kabar meninggal dunia terlebih akibat Covid-19 memang menimbulkan duka yang sangat dalam, terutama bagi mereka yang benar-benar pernah merasakan betapa baik dan ramahnya beliau saat berjualan. Sang penyelamat perut mahasiswa di akhir bulan, begitulah kira-kira gelar pahlawan yang disandangkan oleh para mahasiswa.

Angkringan dan Jogja sendiri merupakan dua hal yang sulit dipisahkan. Metode jualan yang sudah ada sejak tahun 1950 yang diinisiasi oleh Mbah Pairo asli Bayat, Klaten. Mbah Pairo kemudian membawa angkringan bukan dalam gerobak seperti sekarang, melainkan pikulan khas Klaten. Generasi Mbah Pairo diteruskan oleh Lik Man hingga saat ini berlokasi di Jl.Wongsodirjan.

Layaknya restoran, angkringan pun berkembang menyesuaikan pasar dan target konsumen. Ada beberapa jenis angkringan dengan desain dan menu yang lebih modern akan mudah kita jumpai di Jogja, seperti angkringan House of Raminten yang memadupadankan café dan konsep angkringan.

Menurut pakar sejarah, Heri Priyatmoko dalam ulasannya di detiknews.com, kearifan angkringan tidak hanya sekedar menjadi tempat makan dan kumpul. Namun, berkembang menjadi sarana untuk mengendalikan batin (rohani) agar diri seseorang tak larut dalam kegelisahan jiwa karena perkara dunia saja. Hal ini cukup jelas terlihat dari keasyikan bahkan keceriaan yang dirasakan oleh para mahasiswa dan pelajar sembari menyeduh teh dan menghabiskan bungkus demi
bungkus nasi.

Tanpa sadar, berbagai cerita dan diskusi bersama teman, rekan, ataupun keluarga bisa melebur menjadi satu di sini. Jika sekedar melepas diri dari kelelahan kuliah, organisasi, dan berbagai kewajiban kampus, tanpa harus menguras kantong maka angkringan bisa menjadi salah satu pilihan tempatnya. Tak lupa ditemani mendoan bakar, nasi bungkus, dan seduhan es teh malam hari.

Kepergian salah satu pemain utama angkringan mahasiswa Jogja, Pak Panut, semoga tidak juga menghilangkan cerita kebaikan hati beliau, dan usaha-usaha kita bertumbuh dari mahasiswa hingga sarjana. Selamat jalan Pak Panut dan terima kasih untuk segala kebaikan angkringan bapak.[]

*Adibah Rasikhah Amanto, mahasiswa Profesi Dietisien FKKMK UGM. Berdomisili di Pogung Dalangan dan menyukai food travelling. (Instagram: rasikhah_adibah).