Influencer Berisiko Sebarkan Hoaks dan Rusak Citra Lembaga Negara

437

Baca juga: Almarhum Prof. Hartono di Mata Kolega: Tegas, Amanah, dan Senang Berbagi

“Jadi baik siapa mereka, apa kompetensinya, bagaimana etika dan standar komunikasinya belum jelas,” terang lulusan S3 Political Communication and Marketing, Bournemouth University ini.

Sementara itu, pejabat publik terikat dengan prinsip-prinsip moral, kesantunan, basis ideologi, serta janji politik kepada masyarakat.

Sehingga, menurut Nyarwi, pejabat publik harus melihat masyarakat bukan sekadar sebagai objek propaganda dalam komunikasi yang bersifat top-down.

Akan tetapi, mereka juga harus melibatkan masyarakat sebagai rekan untuk memikirkan isu-isu yang tengah berkembang.

Guna menjangkau masyarakat, pejabat publik perlu mengadaptasi media-media baru agar interaksi tercipta.

Baca juga: Aksi Solidaritas KAGAMA Balikpapan untuk Tenaga Non Kesehatan Rumah Sakit

Diperlukan pula strategi komunikasi tertentu, karena panggung politik tidak sama dengan panggung hiburan para influencer.

Hal ini telah menjadi tren di negara-negara maju, yakni ketika politisi beradaptasi dengan media digital dan kemudian menjadi influencer dalam isu-isu politik terkini.

“Mereka sudah terbiasa memanfaatkan panggung komunikasi publik untuk bisa berinteraksi secara terbuka dengan masyarakat, bukan sekadar dibicarakan,” ucap Nyarwi.

“Tetapi, di Indonesia trennya politisi lebih suka dibicarakan daripada berbicara langsung kepada publik. Strategi inilah yang perlu dicontoh oleh pejabat publik di Indonesia,” pungkasnya. (Ts/-Th)

Baca juga: Wisuda Program Sarjana Fakultas Biologi UGM Terasa Spesial