Influencer Berisiko Sebarkan Hoaks dan Rusak Citra Lembaga Negara

437

Baca juga: Hadapi Pandemi, Antropolog UGM Ajak Masyarakat Belajar Ketangguhan Sosial-Ekonomi Para Petani di Desa Petung

“Langkah ini juga dapat menimbulkan anggapan dari masyarakat bahwa pejabat publik tidak mampu membangun komunikasi kepada publik.”

“Jangan sampai para pejabat publik dan pimpinan organisasi politik dianggap tidak memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara langsung ke publik,” jelasnya.

Nyarwi pun menolak anggapan bahwa influencer memegang peranan penting dalam komunikasi era demokrasi digital.

Baginya, peran komunikasi publik semestinya dijalankan oleh pejabat publik.

Sebab, pejabat publik adalah sosok yang paling mengerti mengenai kebijakan dan punya tanggung jawab guna membangun dialog dengan masyarakat.

Baca juga: Masyarakat Butuh Uluran Tangan dari Komunitas Tangguh untuk Hadapi Pandemi

“Kalau politisi bergantung pada influencer, ini tidak menunjukkan kemajuan demokrasi. Kemajuan demokrasi salah satunya terjadi ketika ada interaksi, ada diskusi yang lebih terbuka,” tutur Nyarwi.

Alumnus Ilmu Komunikasi UGM angkatan 1998 ini memandang, influencer tidak memiliki kode etik yang mengatur kerja mereka.

Demikian dengan asosiasi yang bisa memberikan evaluasi kinerja mereka.

Hal ini menurut Nyarwi bisa memunculkan risiko penyebaran informasi tak benar alias hoaks, yang pada akhirnya berpotensi merusak citra lembaga negara.

“Jangan mempertaruhkan citra pemerintah pada influencer. Influencer belum menjadi suatu profesi komunikasi publik,” kata Nyarwi.

Baca juga: Pesan Sri Sultan HB X dalam Peringatan UU Keistimewaan Yogyakarta