Humor Memang Harus Ada Konteksnya

327

Baca juga: Membangun Harmoni di Tengah Isu Rasisme dan Diskirminasi

Oleh karena itu, kata dia, alangkah lebih baik jika sama-sama bersikap luwes.

Pakar pembangunan sosial itu melihat bahwa guyonan dan sindiran tentu memiliki konteks, tidak berada di dalam ruang vakum.

Konteks tersebut merujuk pada berbagai hal: politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Serta melekat pada: individu, komunitas, organisasi, atau lembaga.

Dengan begitu, apabila materi yang disampaikan komedian menyentuh kepentingan kelompok terkait, bisa jadi mereka akan merasa tersentil.

“Hal ini menjadi hal yang wajar terjadi dalam fenomena sosial bermasyarakat,” ujar Sunyoto.

Baca juga: Bupati Willem Wandik Sponsori Grup Konak Papua untuk Lestarikan Budaya Asli Daerah

“Masalah ini mesti disikapi dengan dewasa oleh semua pihak, jadikan sebagai masukan akan jauh lebih baik,” terang lulusan S3 Flinders University, Australia.

Pandangan Sunyoto bernada serupa dengan apa yang diyakini oleh Ketua KAGAMA Filsafat, Drs. Achmad Charris Zubair, M. A.

Bagi Charris, warga Indonesia punya sense of humor yang tinggi. Kendati demikian, membicarakan humor adalah sesuatu yang serius.

Oleh karena itu, humor harus memiliki konteks yang menunjukkan sebuah fakta bahwa hal tersebut patut direspons dengan tertawa.

“Ada hal-hal yang tidak boleh ditertawakan begitu saja meskipun itu lucu. Hal itu seperti asal-usul, ras, warna kulit, wajah, dan segala sesuatu yang diterima jadi serta tidak bisa ditolak oleh manusia,” kata Charris.

Baca juga: Cerita Lulusan Fakultas Pertanian UGM yang Sukses Kembangkan Gerakan Canthelan di Magelang