RUU Omnibus Law Bakal Rombak Pendekatan dalam Pemberian Izin Pendirian Usaha

382

Baca juga: Dosen UGM Ungkap Motif di Balik Maraknya Kerajaan Abal-abal

Problem mengenai perizinan disusul oleh pengadaan lahan (17,3 %), serta regulasi dan kebijakan (15,2 %).

“Sesungguhnya Indonesia tidak kekurangan investor. Sebab,  negara ini menarik bagi investor untuk datang,” ujar Endi.

“Namun, ada kendala antara investor yang telah mengurus perizinan berinvestasi dengan realisasinya.”

“Sebab, ada setidaknya 40 persen investor yang kemudian tidak jadi investasi,” katanya.

Endi menjelaskan, berdasarkan kondisi tersebut, Pemerintah lantas menggagas OSS (Online Single Submission) sejak 2018 guna menyederhanakan perizinan.

Melalui OSS proses permintaan Nomor Induk Berusaha NIB), izin usaha, dan izin komersial atau operasional cukup melalui satu pintu.

Namun, setelah OSS berjalan setahun di 16 daerah, ternyata pelaksanaannya cukup sulit.

Baca juga: Cerita Sulistyowati Saat Bikin Suasana Kelas yang ‘Mencekam’ Jadi Gayeng Berkat Permen

Sebab, hanya satu daerah saja yang mampu melakukan integrasi secara penuh melalui sistem OSS, yaitu Kabupaten Sidoarjo.

Selebihnya, kata Endi, daerah lain memberlakukan sistemnya sendiri-sendiri alias sistem lawas.

Nah, RUU Omnibus Law Cipta Kerja hadir untuk menata kembali regulasi dalam OSS.

Dalam hal ini, perizinan berusaha diberikan dengan pendekatan regulasi berbasis risiko (Risk Based Approach).

“Semakin tinggi potensi risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas bisnis tertentu, semakin ketat pula kontril dari Pemerintah,” ujar Endi.

“Dengan demikian, semakin banyak perizinan yang dibutuhkan atau inspeksi yang dilakukan. Ada tiga klasifikasi risiko, yaitu tinggi, sedang, dan rendah,” terang pria kelahiran Flores, NTT ini.

Dalam regulasi berbasis risiko, ada tiga parameter yang digunakan.

Baca juga: Waspada Corona! Laporan Terkini Kondisi Beijing oleh Dubes Djauhari Oratmangun