Kata Pakar UGM Soal Ribut-ribut Indonesia dan Tiongkok di Perairan Natuna

1045

Baca juga: Siasat Menteri Basuki Hadimuljono Agar Banjir Tak Kembali Terjang Jakarta

“Argumen ini telah dibahas dan dimentahkan oleh Keputusan SCS (Southern Chinese Sea) Tribunal 2016. Indonesia juga menolak istilah relevant waters yang diklaim oleh RRT karena istilah ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” kata Retno Marsudi dalam rilis Kemlu.

“Indonesia Mendesak RRT untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas yang jelas perihal klaim RRT di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982.”

“Berdasarkan UNCLOS 1982, Indonesia tidak memiliki overlapping claim dengan RRT. Sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog apa pun tentang delimitasi batas maritim,” tegas diplomat lulusan FISIPOL UGM ini.

Kasus RRT-RI tentang perairan Natuna ternyata tidak luput dari pantauan Dosen Teknik Geodesi UGM, I Made Andi Arsana, Ph.D.

Namun, dalam unggahan di akun Facebook, Andi, sapaannya, menegaskan bahwa RRT tidak pernah mengklaim Natuna.

Akan tetapi, yang diklaim RRT adalah Nansha alias Spratly Island, sebuah kumpulan pulau dan karang kecil di Laut Cina Selatan (LCS).

“Kepemilikan Nansha masih jadi sengketa. Banyak yang rebutan, termasuk RRT, Vietnam, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Brunei (Darussalam),” tulis Andi, dalam unggahannya di akun Facebook pada 3 Januari 2020.

Baca juga: Menteri Basuki Hadimuljono Sebut Tiga Penyebab Banjir Jakarta

Dalam kasus ini, Andi mengatakan Indonesia tidak ikut-ikutan memperebutkan Nansha yang berada di LCS.

Hanya saja, pria kelahiran 1978 ini memandang situasi LCS memang rumit karena bentuk geografisnya berupa lautan setengah tertutup yang dikelilingi daratan negara.

“Kalau biasanya kita punya daratan yang dikelilingi air laut, di LCS sebaliknya, laut dikelilingi daratan. Kalau semua negara itu mengajukan haknya atas laut, pasti jadi runyam karena klaimnya mengarah ke satu titik yang sama di tengah,” ucap Andi.

Pria kelahiran Tabanan ini bertutur, RRT sebetulnya mengakui UNCLOS dalam mengklaim LCS.

Kendati demikian, mereka memiliki tafsiran sendiri sesuai historis dan tidak berpedoman pada pengukuran UNCLOS.

Tafsiran itulah yang kemudian menghasilkan konsep Nine Dash-Line (NDL).

“Konon nenek moyang RRT sudah berkegiatan di seluruh kawasan LCS sejak zaman dulu kala. Makanya sekarang mereka mengklaim hampir keseluruhan LCS,” terang Andi.

Konsep NDL, kata Andi, ternyata membikin tumpang tindih dengan hak laut negara-negara lain—dalam hal ini Asia Tenggara—di kawasan itu, termasuk Indonesia.

Bahkan, Filipina sudah membawa kasus ini ke Permanent Court Arbitration (Tribunal) 2016 dan mendapatkan kemenangan.

Namun, RRT hingga saat ini tidak mengakui putusan Tribunal.

Mereka pun masih mengirim nelayannya untuk menangkap ikan secara ilegal di kawasan yang melingkupi NDL.

Termasuk di perairan utara Natuna yang merupakan wilayah Indonesia.

Andi menilai, RRT harus tunduk dengan UNCLOS meskipun memiliki NDL yang secara historis sudah lama ada.

Kepala Office of International Affairs UGM ini juga menyatakan, UNCLOS dibuat untuk menyelamatkan tindakan negara-negara yang mengklaim wilayah secara sporadis dan semaunya sendiri.

“Hal ini dicontohkan oleh Filipina. Sebelum ada UNCLOS, klaim laut Filipina  sesuai dengan Treaty of Paris 1898 dan itu masuk dalam konstitusi mereka. Begitu mengakui UNCLOS, Filipina menyesuaikan klaim maritim mereka,” jelas pakar batas maritim ini. (Tsalis)

Baca juga: Menanti ‘Surat dari Kematian’, Film tentang Kisah Horor di UGM