Menguak Rahasia Kebahagiaan Masyarakat Miskin Pesisir

488

Baca juga: Corak Perilaku Korupsi di Kalangan Mahasiswa

Uji yang mereka lakukan ditulis dengan judul Urip Iku Mung Mampir Ngombe; Konsep Kebahagiaan Masyarakat Miskin Pesisir Yogyakarta di Era Industrialisasi. 

Penelitian mereka diterbitkan oleh Jurnal Psikologi UGM pada 2019.

Casmin dan Fauzan mengambil responden dengan dua kategori.

Pertama, orang yang sudah turun-temurun hidup di daerah pesisir dan menjadi bagian perubahan.

Kedua, komunitas perantau yang hidup dan mendiami daerah pesisir sebagai cara bertahan hidup baru.

Adapun lokasi yang mereka jadikan rujukan mengambil enam titik; Yaitu Pantai Parangtritis, Pantai Samas, Pantai Baru, Pantai Goa Cemara, Pantai Kuwaru, dan Pantai Pandansari.

Lantas, mereka mengumpulkan data dengan wawancara mendalam dan observasi dalam konteks geografis responden tinggal.

Baca juga: Inovasi G2R Tetrapreneur Besutan Dosen UGM Telah Mendunia

Selain itu, Casmin dan Fauzan membuat kategori terhadap topik-topik tertentu, melakukan pencatatan deskriptif, memformulasikan kerangka teoretis, serta melibatkan temuan-temuan terdahulu.

Responden mendapatkan pertanyaan terkait pengalaman bahagia, pengalaman buruk atau sedih, sumber kebahagiaan yang pernah dialami, lalu tantangan industrial yang dialami.

Berdasarkan hasil yang didapat, total 16 responden menyatakan kebahagiaan dan kesejahteraan psikologis didasari oleh tiga motif.

Pertama terhindar dari risiko, kedua keadaan tanpa risiko tetapi berhasil, serta tercukupinya kebutuhan fisiologis dan sosial.

Dalam hal ini, konsep kebahagiaan yang mereka miliki ditandai oleh tujuan yang spesifik.

Ada keyakinan kuat dengan semboyan “urip iku mung mampir ngombe” alias hidup itu sekadar berhenti sejenak untuk minum.

Artinya, selama kebutuhan hidup makan minum (fisiologis) dan relasi sosial masih dapat terpenuhi dengan cukup, tiada yang perlu dikhawatirkan.

Keyakinan ini juga diperkuat dengan faktor spiritualitas yang tidak dapat dijangkau akal manusia.

Masyarakat pesisir Jogja menemukan konsep kebahagiaan tersebut dari berbagai macam sumber.

Ada yang dari petuah, cerita, anekdot, pengalaman individual, pengalaman batiniah, dan pengalaman sosial sebagai budaya turun-temurun.

“Hidupku mengejar uang, punya kendaraan bagus, atau kepemilikan tanah tidak menjamin hidupku bahagia,” kata sebagian responden yang merupakan petani, buruh pabrik, dan pembuat bata.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa masyarakat pesisir Jogja mempertahankan konsep kebahagiaannya.

Sehingga, hal itu menghambat proses peluruhan konsep yang mungkin terjadi karena industrialisasi pariwisata. (Tsalis)

Baca juga: Pesta Malam Tahun Baru? Makanan Ini Bisa Kamu Siapkan