Imbas Buruk Perlakuan Diskriminatif yang Dilakukan Petugas Kesehatan kepada Penyintas HIV/AIDS

431

Baca juga: Indonesia Perlu Rombak Birokrasi yang Cocok untuk Kaum Milenial

Pernyataan itu dia sampaikan dalam diskusi bertajuk Outbreak Exhibition, yang digagas FK-KMK UGM bersama Healthier Indonesia dan HIV Awal (Early) Testing & Treatment Indonesia Project (HATI), Jumat (20/12/2019) di Ruang Auditorium Gedung Pascasarjana Tahir Foundation lantai 1.

“Hal penting dari tenaga kesehatan yang pertama adalah menerima orang apa adanya. “Yaitu sikap humanitas dan penerimaan,” tutur dr. Yanri, melansir situs resmi FK-KMK UGM.

“Stigma HIV ini cukup kuat apalagi terkungkung dengan agama. Seharusnya tidak ada stigma jika pendekatannya kemanusiaan,” ujarnya menambahkan.

Pada poin kedua, Sekretaris Direktorat Bidang Pascasarjana Direktorat Pendidikan dan Pengajaran UGM ini menyebut tenaga kesehatan lebih melek terhadap standard precaution.

Yakni standar kewaspadaan dalam tindakan untuk mencegah penularan penyakit.

Baca juga: Kagama Pengcab Wonogiri Gelar Bakti Sosial di Desa Tengger

“Dalam hal ini bukan hanya HIV precaution, tetapi kewaspadaan standar dalam memberikan layanan kesehatan,” ujar dr. Yanri.

“Rumah sakit belum menerapkan standard precaution dengan benar dilihat dengan adanya laporan kasus diskriminatif yang ada,” terang wanita yang lulus memperoleh dokter dari FK UGM pada 1993 ini.

Penuturan dr. Yanri selaras dengan apa yang ada di benak Ragil Sukoyo, yang merupakan wakil dari Yayasan Victoria Plus Yogyakarta.

Untuk diketahui, Yayasan Victoria Plus adalah lembaga nirlaba yang berfokus pada pencegahan dan edukasi terhadap HIV/AIDS.

“Dinas Kesehatan menggencarkan gerakan target  tiga zero goal untuk mengakhiri epidemi HIV. Yaitu zero infeksi HIV baru, zero kematian terkait AIDS, dan zero diskriminasi pada tahun 2030,” tutur Ragil.

Baca juga: Agar Resolusi Tahun Barumu Tak Jadi Angan-Angan Belaka

“Namun, apakah kita bisa dengan melihat situasi sekarang (2019) saat masih terdapat perlakuan diskriminatif. Bahkan, dari tenaga kesehatan yang seharusnya memahami betul mengenai penularan HIV/AIDS?” jelasnya.

Ragil menambahkan, para penyintas HIV/AIDS memerlukan advokasi dan dukungan dari tenaga kesehatan.

Sebab, dia yakin akan ada imbas buruk yang diakibatkkan apabila tenaga kesehatan tetap memberikan pelayanan yang diskriminatif.

“Ketika seseorang sudah tidak nyaman mengakses layanan kesehatan, hal tersebut berkontribusi terhadap peningkatan angka putus obat dan perawatan ODHA,” pungkasnya. (Tsalis)

Baca juga: Sejarah Terbentuknya Kamenwagama, Berawal dari Acara Tahun Baru