Negara Perlu Bangun Tradisi Membuat Database di Era Digital

386

Baca juga: Dubes Djauhari: Indonesia Berpotensi Jadi Kekuatan Ekonomi Digital Terbesar Asia Tenggara

Persoalannya, di Indonesia belum ada lembaga khusus yang bisa dipercaya untuk menangani hal tersebut.

“Data kita ini di mana-mana, belum lagi perusahaan telekomunikasi dan perusahan lainnya. Bank itu yang paling banyak punya data, sehingga mereka bisa menakar basis ekonomi kita. Negara itu sebetulnya yang punya otoritas untuk mengendalikan risiko dari laju perkembangan teknologi itu,” jelasnya.

Dia menjelaskan, Indonesia perlu belajar menjadi negara Scandinavia, Norwegia, Swedia, dan Estonia yang memiliki kebijakan privasi data yang baik.

“Salah satu pilar lembaga yang memegang semua data itu justru kantor pajak kalau di negara-negara itu. Mulai dari lahir hingga bekerja, data seseorang terekam di sana,” ungkap dosen yang menyelesaikan pendidikan masternya di Stockholm University ini.

Selain itu, transparansi data juga diperlukan.

Baca juga: Masyarakat Perlu Terlibat dalam Kegiatan Literasi Digital

Artinya, ada akses informasi terbuka yang bisa dilihat semua orang, sehingga ketika ada kejahatan akan mudah terdeteksi.

Dikatakan oleh Sidiq jika kita mengikuti strategi mengolah data yang ideal, berarti semua data harus diformalkan.

Sektor-sektor non formal mau tidak mau diubah ke formal.

“Tantangannya di negara kita, basis ekonomi di Indonesia tidak semuanya formal. Kewajiban setiap orang untuk memilikin KTP itu adalah upaya untuk memformalkan,” ujarnya.

Di samping itu, masyarakat kita tidak memiliki tradisi membuat database warga.

Baca juga: Soal Ekonomi Digital, Indonesia Perlu Buat Regulasi Khusus

Sidiq menuturkan, Indonesia mungkin butuh 200 tahun untuk bisa membangun tradisi ini.

“Aku bilang gini karena Scandinavia punya tradisi membuat database sejak abad ke 18-19. Mulai dari nama hingga riwayat kesehatannya terekam dalam satu database. Dan semua proses kebijakan sosial, semua harus berbasis pada data tersebut. Jadi, dalam membaca, mereka sangat akurat,” papar Sidiq.

Bila ingin berubah, kata Sidiq, salah satu cara yang bisa dilakukan adalah membangun tradisi membuat database.

“Dan sampelnya bukan representatif yang proporsional. Tetapi populasi, mendekati sensus penduduk lah,” jelasnya.

Sekarang yang perlu dipikirkan, bagaimana membentuk atau menunjuk instansi yang memiliki otoritas untuk mengelola database ini.

“Semakin ke sini database itu semakin penting. Jika tidak memiliki database, maka kebijakan akan selamanya parsial,” tandasnya. (Kinanthi)

Baca juga: Menyikapi Guncangan Ekonomi Digital di Dunia Keuangan dan Pasar Modal