
KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Selain dimeriahkan oleh 1.211 orang dari 37 grup paduan suara, Aubade Pancasila UGM kali ini juga spesial dengan orasi kebangsaan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Rabu (14/8/2019).
Dengan mengangkat topik Merajut Kembali Persatuan Bangsa, Sultan ingin mengajak semua yang hadir dalam aubade untuk kembali berkaca pada cermin sejarah di masa “Republik-Yogya” pada 1945-1949.
Sebab, Ruh Pancasila dan semangat kebhinekaan pada waktu itu disemaikan di Jogja.
Narasi Kemanusiaan dari Pelaku Sejarah
Dalam orasinya, Sultan banyak bercerita tentang narasi kemanusiaan dari para pribadi pelaku sejarah.
Seperti sejarah dibuatnya bendera merah putih oleh Fatmawati, Bung Karno yang membuang teks proklamasi ke tong sampang hingga kemudian dipungut dan disimpan oleh wartawan BM Diah.
Sultan juga bercerita tentang pengetikan teks proklamasi oleh Sayuti Melik, rapat kilat narasi proklamasi, diplomasi perjuangan oleh para pahlawan muda, sampai Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dirancang oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
“Mari kita semua merajut kembali persatuan bangsa, yang dijiwai oleh semangat peduli dan berbagi serta bergotong-royong antar sesama tanpa membeda-bedakan asal-usul suku, agama, dan golongan,” ujarnya.

Baca juga: Menteri Rudiantara: Berita Hoaks Lahir Bukan karena Era Digital
Sultan menjelaskan, jika demikian Indonesia tidak sekadar gambar dengan deretan pulau yang banyak.
Tetapi, menjadi negara yang disegani dan dihormati oleh bangsa-bangsa lain.
Dengan kerja sama, kata Sultan, kita mampu membangun prestasi bangsa yakni Indonesia-Maju yang gemilang.
Jangan Hanya Secara Simbolis
Sultan kemudian memaparkan cara merajut kembali persatuan bangsa secara metaforis.
Diumpamakan di setiap dada manusia Indonesia tersemat simbol Garuda Pancasila.
Walaupun berbeda etnis, suku, agama, dan budaya, hingga tradisi dan bahasa, Kita tetap ‘Satu Nusa, Satu Bangsa, Satu Bahasa: Bahasa Indonesia’.
Baca juga: Rektor Ajak Masyarakat Rawat Keberagaman di Era Digital
Namun, untuk mewujudkan persatuan, tidak cukup dengan simbolis saja.
Tetapi juga direalisasikan dalam bentuk aksi di dunia nyata.
Sultan mengatakan, caranya dengan mendekatkan perbedaan menjadi satu kekuatan.
“Ibaratnya meski jari-jari kita itu memiliki ukuran, karakter, dan fungsi yang berbeda-beda, tetapi dalam satu genggaman tangan, akan memiliki kekuatan bangsa yang dahsyat,” kata Sultan dalam orasinya.
Baca juga: Manifesto Politik Pemuda Indonesia Pertama Dibuat di Belanda