Perlu Kembangkan Pancasila sebagai Ideologi Praktis
Sultan pun menyayangkan sedikitnya masyarakat kita yang mempunyai perhatian terhadap penerapan Pancasila sebagai ideologi praktis.
Dengan sedikitnya pemikir yang menaruh perhatian ke sana, wajar apabila masyarakat mengalami kesulitan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Untuk itu, menurut Sultan, Pancasila perlu ditransformasikan ke dalam model-model yang aplikatif.
“Dalam konteks Pancasila sebagai ideologi praktis, kita memiliki tanggung jawab untuk menerjemahkannya sebagai pedoman berbangsa dan menjadikannya metode hidup. Dengan kata lain, aktualisasi Pancasila tidak akan bisa membumi, jika tetap hanya dijadikan mitos, tanpa memiliki model praktis dalam memecahkan masalah hidup masyarakat,” paparnya.
Baca juga: Tentang Fresh Graduate yang Menolak Gaji Rp 8 Juta dan Persoalan Dunia Kerja Mereka
Menurut Sultan, dengan dikembangkannya Pancasila sebagai ideologi praktis, maka segala konflik dapat diselesaikan dengan cara yang bermartabat.
Sebab, kita semua telah mempunyai landasan nilai-nilai yang berdasarkan prinsip musyawarah dan mufakat.
Ubah Mitos Menjadi Etos
Mitos politik yang berkembang di masyarakat juga perlu menjadi perhatian.
Menurut Sultan, ini tidak selamanya negatif, tetapi mitos dalam kehidupan bernegara yang modern dan menuntut transparansi, menjadi racun riil dari yang fiksi, subjektif dari yang objektif, serta partikular dari yang universal.
Sultan menganjurkan Pancasila jangan hanya dijadikan mitos, tetapi dijadikan etos sebagai media untuk ‘Merajut Kembali Persatuan Bangsa’, terutama di tengah tarikan global.
Dalam konteks ini mengeratkan hubungan antar negara, antar etnis, dan antar agama, sehingga masyarakat tidak hanya hidup rukun.
Baca juga: Silverius Djuni: Menjadi Staf Pengajar Tak Hanya Transfer Knowledge
Tetapi mampu berkontribusi dalam pembangunan tanpa adanya rasa kecurigaaan dan kesalahpahaman.
“Kita semua tentu sepakat bahwa Indonesia adalah pohon yang berdiri tegak, rimbun dan berbuah lebat, pengandaian Indonesia yang maju dan beradab. Indonesia haruslah mampu memakmurkan, memajukan dan memberi rasa keadilan bagi seluruh rakyat dengan pembangunan yang bukan lagi mitos, tetapi maujud menjadi etos bangsa yang konstruktif, visioner, antisipatif, progresif, kritis dan berkelanjutan,” ujar alumnus Fakultas Hukum UGM itu.
Institusionalisasi Harus Dibarengi Internalisasi
Ia kemudian memaparkan tiga tataran dalam Pancasila.
Pertama, nilai dasar normatif, bersifat abstrak dan tetap.
Nilai dasar tersebut berkaitan dengan tujuan, cita-cita, tatanan dasar dan ciri khas, serta yang tertanam dalam kontitusi.
Kedua, nilai instrumental, yang merupakan peraturan perundangan.
Baca juga: Uniknya Perpeloncoan di Awal Berdirinya UGM
Terutama yang menberi arah kebijakan, serta program dan strategi yang menindaklajuti nilai dasar.
Ketiga, nilai praksis, yakni merealisasikan nilai-nilai Pancasila.
Nilai praksis menjadi pertarungan antara nilai-nilai ideal dan aktual.
Dari nilai praksis ini kita bisa mengetahui tegak atau lemahnya nilai dasar dan nilai instrumental.
Nilai praksis tampak dari kualitas aktualisasi nilai Pancasila di lapangan.
Baca juga: Gamada Patungan untuk Hadiah Kakak Pemandu PPSMB
Tiga tataran ini sekaligus menjadi pengingat bagi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) untuk menyelesaikan tugasnya.
Sultan kemudian menambahkan, institusionalisasi yang diimbangi dengan internalisasi menjadi tantangan bagi BPIP.
Mereka harus menuntaskannya dalam semua level supra-struktur, infrastruktur politik, sampai implementasinya.
“Jika Boedi Oetomo adalah penyemai cita-cita, Soempah Pemoeda mempertegas bingkainya, Proklamasi menancapkan tonggak perwujudannya, Revolusi adalah masa menegakkan cita-cita itu. Dan kini, generasi berikutnya, tinggallah mewujudkannya,” ujar Sultan menutup orasinya. (Kinanthi)
Baca juga: Mahasiswa Kembali Adakan Pharmacious 2019, Ini Tata Cara Pendaftarannya