Sertifikasi pada Produk Kehutanan Bisa Jadi Koheren dengan Kepentingan Kapital

292
Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Ahmad Maryudi, mencoba menjelaskan fenomena yang terjadi di balik sertifikasi produk kehutanan. Foto: Ist
Guru Besar Fakultas Kehutanan UGM, Prof. Ahmad Maryudi, mencoba menjelaskan fenomena yang terjadi di balik sertifikasi produk kehutanan. Foto: Ist

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Dunia tengah bersemangat untuk menggelar perdagangan internasional berkelanjutan.

Asas keberlanjutan ini menekankan pada pembangunan ekonomi tanpa meninggalkan kewajiban melestarikan lingkungan.

Sebagai contoh, Uni-Eropa menerapkan sertifikasi FLEGT-VPA pada produk kayu (legal) yang masuk.

Pada 2019, Uni-Eropa juga meluncurkan program European Green Deal.

Konsekuensi dari program ini adalah setiap produk yang masuk ke Uni-Eropa harus memenuhi syarat lestari menurut mereka.

Baca juga: Pandemi Covid-19 Jadi Momentum Manusia untuk Kembali ke Fitrahnya

Hanya, kebijakan ini kemudian memukul industri kelapa sawit dari Indonesia.

Swiss memulainya dengan melancarkan ancaman boikot pada produk minyak kelapa sawit Indonesia.

Jika dunia kemudian terpengaruh, hal ini tentu bisa merugikan Indonesia.

Pasalnya, sektor pertanian, khususnya kelapa sawit, merupakan penyumbang terbesar APBN. Devisa yang dihasilkannya mencapai 10 persen dari APBN (sekitar Rp300 triliun).

Demikian seperti yang diungkapkan oleh Dr. Hero Marhaento, S.Hut., M.Si, moderator Webinar Seri 5 Dies Natalis Fakultas Kehutanan UGM.

Baca juga: Kebijakan Hijau pada Minyak Kelapa Sawit Ternyata Tidak Semata-mata untuk Penyelamatan Lingkungan