Sekjen KAGAMA: Perubahan Kebiasaan Baru Butuh Paham Sosial-Budaya Masyarakat

403
Sekjen PP KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana menyebut, dalam adaptasi budaya baru memerlukan pelibatan kolaborasi pendekatan multi disiplin keilmuan. Foto: Ist
Sekjen PP KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana menyebut, dalam adaptasi budaya baru memerlukan pelibatan kolaborasi pendekatan multi disiplin keilmuan. Foto: Ist

KAGAMA.CO, JAKARTA – Terdapat kesalahan persepsi di masyarakat dalam menangkap diksi normal baru (new normal) di masa pandemi Covid-19.

Karena yang lebih diingat menjadi memori kolektif masyarakat justru adalah diksi normal dibandingkan pada diksi new (baru) dalam new normal.

Jika persepsi itu terbentuk maka hal itu akan bisa kontra produktif bagi upaya bersama untuk pengendalian penyebaran Covid-19.

Karena itu, diperlukan metode sosialisasi dan juga edukasi publik yang lebih memahami karakteristik masyarakat dari sisi psikologis, sosiologis maupun budaya.

Itu artinya dalam adaptasi budaya baru memerlukan pelibatan kolaborasi pendekatan multi disiplin keilmuan.

Baca juga: Geolog UGM Diamanahi Jadi Wakil Presiden Asosiasi Panas Bumi Internasional

Bukan hanya epidemolog, ahli kesehatan masayarakakat tapi antropolog, sejarawan, ahli bahasa, sosiolog, pakar budaya dan sebagainya.

Dengan cara itu protokol kesehatan akan bisa lebih efektif menimbulkan perubahan perilaku dan membentuk tatanan budaya baru dalam masyarakat.

Hal tersebut disampaikan Sekretaris Jenderal PP KAGAMA, AAGN Ari Dwipayana, dalam seminar UGM Talks, Sinergi KAGAMA dan UGM: Membangun Budaya Tatanan Baru Melalui Pengelolaan Perilaku, pada Minggu (12/7/2020) secara daring.

Dalam memberi pengantar diskusi ini, Ari menekankan pentingnya interdisipliner. Artinya, melibatkan banyak pakar atau ahli dari berbagai ilmu.

Dengan demikian, pengelolaan perilaku memiliki basis yang kuat secara akademik maupun praktik.

Baca juga: Sekjen KAGAMA: Kartu Prakerja Harus Adaptif dalam Situasi Pandemi