Belajar Penanganan Covid-19 dari 3 Negara yang Ditempati Diaspora KAGAMA Farmasi

514

Baca juga: Membangun Harmoni di Tengah Isu Rasisme dan Diskirminasi

Dia adalah ASN di Direktorat Jenderal Penilaian Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan yang melanjutkan S2 di University of Melbourne, Australia.

Menurut Fikri, Pemerintah Australia sudah mewanti-wanti warganya sejak Januari. Yakni ketika dunia baru digemparkan dengan kabar wabah virus corona di Tiongkok.

Sejak saat itu, semua penerbangan dari Tiongkok tidak boleh datang ke Australia.

Termasuk mahasiswa dari Tiongkok juga tidak boleh masuk. Hal yang membuat Fikri salut dengan Pemerintah setempat adalah sikap transparan.

“Pemerintah (Australia) sangat transparan dan menceritakan roadmap penanganan wabah,” ujar Fikri.

“Mulai pertengahan Maret dilakukan semi lockdown agar orang-orang stay at home dan menerapkan physical distancing.”

“Peraturan diberlakukan secara bertahap.Mulai dari tidak boleh kumpul 50 orang, 10 orang, hingga dua orang.”

“Jika ketahuan mengadakan perkumpulan, dendanya bisa sampai Rp20 juta,” terangnya.

Sama seperti di Swiss, Australia juga masih membolehkan orang keluar rumah dalam keadaan terdesak. Seperti berbelanja kebutuhan pokok dan mencari layanan kesehatan.

Namun, kata Fikri, di sana juga diperbolehkan keluar untuk berolahraga dan untuk urusan pendidikan yang tidak bisa ditinggalkan.

Baca juga: Bupati Willem Wandik Sponsori Grup Konak Papua untuk Lestarikan Budaya Asli Daerah

Dia bertutur, sejak tiga hari sebelum Idul Fitri, Pemerintah Australia sudah membolehkan perkumpulan 10 orang di lingkungan outdoor.

“Sekarang orang sudah bisa keluar. Mungkin minggu depan stadion dan gym sudah buka,” ucap Fikri.

Cerita ketiga dikisahkan oleh Siska, alumnus Fakultas Farmasi UGM angkatan 2011.

Dia saat ini sedang menjalani pendidikan S3 di Toyama University, Jepang.

Kata Siska, Jepang sudah menerapkan kebijakan state of emergency  (di Indonesia PSBB) sejak April.

Hal itu membuat masyarakat Jepang harus menghindari 3 C: close space (ruang sempit), crowded space (ruang ramai), dan close contact (kontak dekat).

“Imbauan untuk menhindari tiga hal tersebut disampaikan lewan iklan televisi, YouTube, dan mobil patroli polisi dengan TOA,” tutur Siska.

Bagi Siska, wabah Covid-19 menyadarkan dia tentang satu pelajaran hidup yang dia dapatkan di UGM.

Yakni belajar untuk menerima apa pun yang terjadi dan mengakui segala kelemahan yang dimiliki manusia.

“Kita berproses untuk menjadi pribadi yang lebih baik di kondisi yang sebenarnya tidak baik-baik saja,” pungkasnya. (Ts/-Th)

Baca juga: Cerita Lulusan Fakultas Pertanian UGM yang Sukses Kembangkan Gerakan Canthelan di Magelang