Pandemi Corona, Masa ketika Guyub Rukun Menjadi Berbahaya

698

Baca juga: Pengalaman Budi Setiyono di Perhutani: Rumahnya Pernah Dirusak Usai Tangkap Pencuri Kayu

Meski begitu, masyarakat dengan tradisi guyub rukun yang kental sering sukar untuk segera mengubah perilakunya.

Fenomena itu disaksikan sendiri oleh Pujo di pasar keliling sekitar kediamannya, Perumahan Sarjana, Jogja.

“Orang-orang tetap mengerubung pedagang meskipun pakai masker,” kata Pujo.

Perilaku orang desa yang seperti itu disadari Pujo karena mereka berasumsi bahwa wabah berasal dari luar.

Orang desa menganggap bahwa dirinya sehat, aman, dan baik-baik saja.

Karena itu, tidak apa-apa jika berdekatan. Sementara, pihak yang dianggap tidak aman adalah orang dari luar kampung.

“Sumber persoalan (dinilai) ada pada orang luar, bukan pada diri mereka sendiri,” ucap Pujo.

Baca juga: Dokter Spesialis Anak RSA UGM Ingatkan Pentingnya Imunisasi di Tengah Pandemi

“Sehingga, solusinya adalah mencegah orang luar masuk ke wilayah kampung, walaupun orang luar itu merupakan warga sendiri,” terangnya.

Perilaku tak sama disaksikan Pujo di Jerman. Tepatnya pasar tradisional di Wiehre, Freiburg.

Pria yang memperoleh gelar doktor dari University of Amsterdam (2001) ini mengatakan bahwa orang Jerman menjaga jarak agar tidak tertular.

Hal ini selaras dengan imbauan social distancing dan physical distancing (pembatasan sosial dan pembatasan fisik) yang digemakan di seluruh dunia.

“Di Jerman, orang mengambil asumsi bahwa semuanya berpotensi membawa masalah,” ujar Pujo.

“Apakah physical distancing di Jerman membuat solidaritas tiada? Ternyata tidak.”

“Sebab, golongan muda menawarkan bantuan kepada orang yang lebih tua untuk belanja. Physical distance bisa dilakukan tetapi solidaritas tetap,” bebernya.

Baca juga: Gemar Minum Kopi, Bagaimana Mengaturnya Saat Puasa?