Ada Campur Tangan Gerakan Keagamaan Radikal di Balik Kemerdekaan Indonesia

907

Baca juga: Ashiaap! Atta Halilintar Sebut Ganjar Pranowo Pemimpin yang Easy Going

Akibatnya, ketimpangan dan kemiskinan merajalela di pedesaan Jawa.

Kondisi masyarakat Jawa makin mengenaskan mengingat bencana juga terjadi pada periode itu.

Seperti banjir besar Semarang (1880) dan erupsi Gunung Krakatau (1883) yang menyebabkan gagal panen besar-besaran.

Belanda seolah tidak punya rasa kasihan karena kebijakan mereka tetap intensif diterapkan.

Masyarakat setempat yang geram pun akhirnya muncul melalui gerakan perlawanan.

Salah satunya yang hadir adalah gerakan perlawanan berbasis agama.

Ronald menjelaskan, gerakan-gerakan keagamaan mengggunakan istilah kafir dan setan masyarakat terhadap Belanda.

Baca juga: Menakar 70 Tahun Hubungan Diplomatik Indonesia-Rusia

Selain itu, kata dia, mereka memandang perjuangan melawan Belanda merupakan perwujudan dari jihad.

Hal ini yang membuat Belanda memberikan sebutan radikal kepada gerakan keagamaan.

Sebutan radikal ternyata juga disematakan Belanda kepada Sarekat Islam (SI) yang digagas oleh H.O.S. Tjokroaminoto pada 1905.

Sejak saat itu, Belanda konsisten menggunakan istilah radikal untuk menyebut gerakan berbasis keagamaan.

Bahkan, mereka juga menggunakan istilah tersebut pada gerakan nasionalisme atau yang menginginkan kemerdekaan Indonesia.

Menurut Ronald, kemunculan istilah radikal seakan mengaburkan faktor-faktor yang justru melatarbelakangi kehadiran gerakan.

“Terlepas dari apakah hanya merupakan alat atau bukan, yang jelas agama menjadi bahasa pemersatu,” tulis Ronald.

Baca juga: Tulisan Pram di Majalah Gadjah Mada: Tak Perlu Membangun Mitos Baru tentang Kejayaan Masa Lalu