Belajar Toleransi dari Kampung Ilawe, Muslim-Kristen Bersatu Bangun Masjid dan Gereja

1184

Baca juga: Mahasiswa UGM Jelaskan Cara agar Keanekaragaman Hayati Indonesia Tidak Dicuri Asing

Kampung yang terletak di antara lereng bukit dan tepi pantai itu terdiri atas 178 keluarga pemeluk Islam dan 53 keluarga pemeluk Kristen.

Secara jumlah, Muslim tampak lebih dominan. Namun, ada beberapa hal yang membuat kultur toleransi di Ilawe dapat terjaga.

Merlin bertutur, kultur toleransi Ilawe mengakar pada budaya lokal yang mewariskan sistem kekerabatan.

Dia mengetahui hal itu setelah mendengar cerita para tetua Ilawe.

Para tetua Ilawe berkisah bahwa asal-usul mereka adalah belut air dan ikan laut yang menjelma menjadi manusia dan menikah.

Kepercayaan bahwa masyarakat Ilawe berasal dari nenek moyang yang sama membuat mereka bersatu.

Selain itu, adanya sumpah adat yang disebut bela memperkuat hubungan antarwarga.

Baca juga: SARBER KAGAMA Balikpapan yang Hasilkan Ide Cemerlang dan Bikin Suasana Makin Gayeng

Bunyi sumpah adat bela seperti ini, “Kakak-adik, bapa-anak tidak boleh baku marah sampai dunia kiamat; kalau tidak, mati.”

Sumpah adat ini sudah ada jauh sebelum agama Islam dan Kristen masuk di Ilawe pada 1950-an, dan ditandai dengan penanaman batu asah.

Jauh sebelum era agama, masyarakat Ilawe tinggal di empat kampung lama yang terletak di gunung.

Setelah agama masuk, penduduk di empat kampung lama itu pindah ke Kampung Ilawe.

Hal itu terjadi karena umat musilm kesulitan mencari air untuk keperluan ibadah.

Adapun tanah di Kampung Ilawe dimiliki oleh dua nenek yang memiliki hubungan kakak-adik.

Mereka adalah Nenek Maro Lobang, yang beragama Islam, dan Nenek Lobang Ena yang menganut Kristen.

Baca juga: Pesan-pesan Almarhum Gus Solah kepada Presiden Jokowi