Klitih Pelajar Jogja Bermula dari Candu Gadget dan Ketidakpedulian Orang Tua

622

Baca juga: Terbunuhnya Jenderal Soleimani dan Riwayat Konflik AS-Iran

Sosiolog kriminal UGM, Drs. Suprapto, S.U. mengatakan, geng-geng pelajar yang ada di Jogja pada awalnya kesulitan musuh.

Hal itu terjadi pada 2000-an ketika Wali Kota Herry Zudianto menginstruksikan kepala-kepala sekolah di Jogja untuk mengeluarkan siswa yang terlibat tindak kekerasan.

Alhasil, kata Suprapto, geng-geng itu berseliweran ke seluruh kota guna melancarkan aksinya.

Jika dulu motif mereka adalah balas dendam kepada geng lain, kini alasannya beragam.

Namun, bilamana dilihat lebih dalam, Dr. Carla menyebut, salah satu faktor aksi klitih yang dilakukan para remaja timbul lantaran keluarga mereka tidak harmonis.

“Mereka mencari kawan-kawan yang sama (senasib). Kebanyakan, mohon maaf, mungkin orang tuanya sedang terlibat pertengkaran,” kata Dr. Carla.

Dr. Carla menganalisis, pada awalnya para remaja yang bosan dengan kondisi internal keluarganya akan menjajal narkotika atau minum alkohol.

Baca juga: FK-KMK UGM Segera Gelar Winter Course untuk Tangani Kesehatan Mental Era Milenial

Namun, lama-lama mereka ingin sesuatu yang lebih.

“Mereka saling tantang, ‘Berani gak, misal kalau ada orang kita sabet, ada rumah kita lemparin,” ujarnya.

Hanya saja, yang menjadi tanda tanya bagi ahli kesehatan mental kelahiran 1970 ini adalah mengapa fenomena ini populer di Jogja.

Padahal, geng pelajar di berbagai daerah juga ada.

Satu hal yang dipandang Dr. Carla membuat klitih unik adalah cara dan waktu mereka dalam melancarkan aksi.

Yakni malam hari di atas jam 12 malam, dengan menyerang orang tanpa sebab.

Misalnya, kata Dr.Carla, ada orang yang tampangnya terlihat menyebalkan langsung diserang saja.

Baca juga: Berikut Susunan Pengurus Kagama Cabang Kota Surakarta Periode 2020-2025

Baginya, di sinilah peran orang tua penting untuk dapat mengarahkan anaknya ke jalan yang benar.

Di sisi lain, wanita kelahiran Yogyakarta ini menilai tidak tepat untuk mengurung atau mengkriminalisasikan para remaja yang terlibat klitih.

Seharusnya, lanjutnya, mereka diberikan lebih banyak pembinaan.

Tidak hanya kepada anaknya, tetapi juga terhadap orang tua dan gurunya.

Meskipun, para remaja pelaku klitih telah memakan korban jiwa.

“Mohon maaf, klitih sepertinya tidak pas jika hanya diserahkan kepada kepolisian,” kata Dr. Carla.

“Namun, kita juga mesti melihat, misalnya usianya di bawah umur, tidak layak diberikan sanksi sebagaimana narapidana dewasa. Jika diberikan hukuman, mereka akan berpikiran tidak memiliki harapan pada masa mendatang,” jelasnya. (Tsalis)

Baca juga: KGPH Dipokusumo Terpilih sebagai Ketua Kagama Cabang Kota Surakarta Periode 2020-2025