KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Jamu dipandang sebagai produk budaya bangsa Indonesia.
Konsumsi jamu pun sudah dilakukan dari generasi ke generasi.
Namun, eksistensi jamu kian tergerus terlebih untuk sebagian kalangan milenial.
Salah satu alasan mengapa jamu tidak disukai kaum milenial adalah karena rasanya yang biasanya pahit.
Selain itu, jamu dikonotasikan sebagai penawar sakit bagi orang tua, bukan untuk anak muda.
Oleh karena itu, Fakultas Farmasi UGM berupaya untuk mengembalikan tren minum jamu dengan menyelenggarakan Festival Jamu Internasional pada 14-17 November 2019 di Hotel Royal Ambarrukmo.
Demikian seperti dinyatakan Dekan Fakultas Farmasi UGM, Prof. Agung Endro Nugroho, M.Si., Ph.D., Apt., beberapa waktu yang lalu.
Baca juga: Kuliah Sambil Bekerja di Apotek, Ellsya Angeline Jadi Lulusan Terbaik Farmasi UGM
“UGM concern (perhatian -red) untuk mengangkat kembali jamu ke permukaan, bersama Keraton mengagungkan nilai-nilai yang berhubungan dengan jamu di masyarakat,” ujar Agung.
Agung menambahkan, dia berharap jamu melekat dalam gaya hidup dan kebanggaan masyarakat Indonesia.
Selain itu, melalui festival ini, Agung bercita-cita melihat kedudukan jamu sebagai ikon kebanggaan Indonesia yang dikenal dunia.
“Jadi saat ada wisatawan asing datang ke Jogja, mereka tidak hanya mencari bakpia, tetapi juga mencari jamu sebagai minuman menyehatkan dari Indonesia,” tutur Agung.
Pernyataan pria kelahiran Surakarta, 15 Januari 1976, itu senada dengan Koordinator Festival Jamu Internasional, Dr. Ronny Martien.
“Secara historis jamu bisa bertahan sampai sekarang, tetapi masih jadi produk yang terpinggirkan. Karenanya kita mencoba menaikkan level jamu tidak hanya sebagai minuman kesehatan, tetapi sebagai hasil budaya,” tutur Ronny, menerangkan.