Kearifan Awig-Awig Lestarikan Jalak Bali

1316

Doktor Biologi alumnus Universitas Gadjah Mada itu menjelaskan makanan burung Jalak Bali berupa buah pepaya, buah sirsak, rayap (yang terdapat di serasah, pohon trembesi, pohon waru, pohon jati), belalang, dan lalat. Jalak putih minum nektar. Tentang sarang, peneliti di bidang taksonomi hewan, perilaku hewan, dan ornitologi ini menjelaskan bahwa burung Jalak Bali memiliki sarang alami di pohon aren dan pohon Angih (Ficus sp). Terkadang dapat dijumpai Jalak Bali menyelipkan plastik untuk bahan sarang. Jarak Bali dapat tinggal di sarang buatan (nest box). ‘’Musuh utama’’ burung Jalak Bali adalah semut, lebah, dan tokek.

Menurut Kepala Taman Nasional Bali Barat, data terkini populasi Jalak Bali di alam berjumlah 109 ekor dan di penangkaran sebanyak 273 ekor (liputan6.com; data diakses 18 Nov 2017). Jalak Bali memang perlu dilestarikan karena sudah masuk kategori kritis dikarenakan populasi kecil, habitat sempit, dan pencurian. Berdasarkan data dari 1993-2011, pencurian di Taman Nasional Bali Barat terbanyak adalah saat penangkaran Tegal Bunder yang terjadi pada 22 November 1999 dengan total 39 ekor burung Jalak Bali berhasil dicuri. Awig-awig merupakan hukum adat yang mengatur warga pada tingkat desa pakraman (adat) dan banjar adat di Bali.

Peneliti Komodo dan Jalak Bali kelahiran Yogyakarta, 13 Juli 1957 itu menjelaskan bahwa awig-awig adalah penjabaran dari filosofi ”Tri Hita Karana”. Tri Hita Karana adalah tiga penyebab kesejahteraan di bumi yang bersumberkan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya (parahyangan), manusia dengan sesamanya (pawongan), dan manusia dengan alam lingkungannya (palemahan). Pelanggaran terhadap awig-awig berpotensi dikenai pamidanda (sanksi adat) berupa artha danda (dedosan, kebakatan, karampag), jiwa danda  (kagelemekin, kasepekang, kanorayang makrama), panyangaskara danda (nyarunin desa).

Panitia Penyelenggara Talkshow berfoto bersama [Foto dr. Dito Anurogo, M. Sc.]
Panitia Penyelenggara Talkshow berfoto bersama [Foto dr. Dito Anurogo, M. Sc.]
Di Kepulauan Nusa Penida, FNPF berhasil melakukan sosialisasi awig-awig pada tahun 2004-2006 ke 46 desa adat dengan 16 desa dinas yang bertujuan untuk melindungi burung Jalak Bali. Salah satu contoh Awig-awig Desa Pakraman Ped Pasal 28 berbunyi sebagai berikut;

”Sahanan krama desa mangda sampunang maburu, maubuan, lan ma adolan sekancan paksi, napi buin paksi Jalak Bali. Pamindada: Sape sire sane ngejuk paksi, paksi nape je, napi buin paksi Jalak Bali, patut keni denda 1 karung beras, barang nike manut harga pasaran paksi, manut jenis paksi. Sapa sire sane ngeracunin utawi medilin sekancan paksi keni denda 1 karung beras. Sape sire sane numbas/pembeli/penadah paksi keni denda 1 karung beras. Sapa sire sane ngejuk lan meubuan paksi kena denda ½ karung beras.”

Artinya, ”Setiap warga dilarang menangkap, memelihara, ataupun menjual belikan burung, terutama burung Jalak Bali. Sanksinya barang siapa yang melakukan penangkapan burung (semua jenis burung) terlebih itu burung Jalak Bali dikenakan denda 1 (satu) karung beras dan sejumlah harga sesuai harga burung tersebut dipasaran dan sesuai jenisnya. Barang siapa yang meracuni atau menembak burung akan dikenakan denda 1 (satu) karung beras, bagi yang menjual/penjual burung akan didenda 1 (satu) karung beras, bagi siapapun yang membeli atau penadah/pengepul burung akan didenda 2 (dua) karung beras dan bagi yang menangkap burung untuk kemudian dipelihara akan dikenakan denda ½ (setengah) karung beras.”

Di akhir presentasinya, dosen Prodi Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana itu menyimpulkan dua hal. Pertama, masyarakat Kepulauan Nusa Penida mempunyai persepsi dan partisipasi yang baik terhadap awig-awig yang melindungi Jalak Bali. Kedua, keberadaan awig-awig dan daya dukung habitat menyebabkan populasi Jalak Bali di Kepulauan Nusa Penida meningkat. [dr. Dito Anurogo, MSc., dokter digital/online, pemerhati etnoekologi, penulis The Art of Medicine dan 18 buku lainnya, pendiri Writenesia, alumnus S-2 IKD Biomedis FK UGM, anggota peneliti Pusat Studi Bioetik Islam dan Hukum Kedokteran Islam [Biohuki], Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia (FK UII) Yogyakarta]