Membingkai Keberagaman Melalui Seni dan Sastra

153

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR Anugerah Sastra  dan Seni Nasional kembali diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM bekerja sama dengan Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada (Kagama) bertepatan dengan peringatan hari Pahlawan 10/10/2017. Acara tersebut merupakan puncak dari serangkaian lomba yang diadakan oleh FIB UGM dengan tema “Revitalisasi Penghargaan terhadap Perbedaan” dan serangkaian dengan peringatan Dies Natalis UGM ke-68.

Dekan FIB UGM Dr. Wening Udasmoro, S. S., M. Hum., DEA [Foto Ira Khumairoh]
Dekan FIB UGM Dr. Wening Udasmoro, S. S., M. Hum., DEA [Foto Ira Khumairoh]
Menurut Dr. Wening Udasmoro, S.S., M.Hum., DEA,  selaku Dekan FIB UGM, tema tersebut  diambil dari kondisi Indonesia hingga saat ini. “Perbedaan dan keberagamanlah yang menjadikan Indonesia ini indah,” ujarnya. Hal tersebut direpresentasikan dengan pakaian adat yang dikenakan beberapa dosen penerima tamu malam itu. Namun, menurutnya banyak dari kita yang luput terhadap indahnya perbedaan yang telah membentuk Indonesia.

“Karena itu, ajang ini bertujuan untuk mengingatkan kembali dan merefleksi diri terhadap makna Bhinneka Tunggal Ika,” tandasnya.

Sekretaris Dewan  Guru Besar UGM Prof. Drs. Koentjoro, M. BSc., Ph. D [Foto Ira Khumairoh]
Sekretaris Dewan Guru Besar UGM Prof. Drs. Koentjoro, M. BSc., Ph. D [Foto Ira Khumairoh]
Hal senada juga diungkapkan oleh Prof. Drs. Koentjoro, M. BSc., Ph. D selaku Sekretaris Dewan  Guru Besar UGM, nilai-nilai kebhinnekaan juga butuh diterapkan dalam iklim akademik yang berwujud kolaborasi antara cipta, rasa, dan karsa.

Malam Anugerah Seni dan Sastra 2017 itu dihadiri sedikitnya 250-an orang yang memenuhi kursi pengunjung dan puluhan sisanya bergerombol di bangku-bangku taman dan duduk lesehan serta berdiri. Pada kesempatan itu panitia lomba cipta karya seni dan sastra mengumumkan dan memberikan penghargaan pada enam kategori yang dilombakan. Di antaranya adalah cipta puisi, cerpen, meme, kritik sastra, foto, dan film pendek. Beberapa pemenang dari kategori tersebut berasal dari luar pulau Jawa.

Kritikus Sastra, Sastrawan, dan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Surabaya Prof. Dr. Budi Darma, M. A. [Foto Ira Khumairoh]
Kritikus Sastra, Sastrawan, dan Guru Besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Surabaya Prof. Dr. Budi Darma, M. A. [Foto Ira Khumairoh]
Bertempat di aula gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi  Hardjasumantri (PKKH), para tamu disuguhi dengan pertunjukan tari rapa’i dan musik pop serta keroncong dri kelompok VOC. Selain itu, juga ada orasi budaya yang disampaikan oleh Prof. Dr. Budi Darma, M. A. sastrawan cum guru besar Fakultas Sastra Universitas Negeri Surabaya.

Dalam orasi Budi Darma mengatakan, melalui karya sastra, pengarang menyampaikan imajinasi dan gagasannya yang visioner, melampaui imajinasi dan gagasan masyarakat umum di zamannya. Karya yang visioner akan menginspirasi penciptaan teknologi dan menggerakkan pembangunan dan peradaban. Manusia kemudian menciptakan terminologi, seperti Barat dan Timur. Lalu, dikembangkan lagi menjadi Timur Dekat, Timur Tengah, dan Timur Jauh. Terminologi-terminologi itu tercipta karena didasari rasa keingintahuan, dimulai dari perihal di mana tempat matahari terbit lalu mereka berlayar mengarungi samudera mengunjungi negeri-negeri tersebut.

Panitia penyelenggara Malam Anugerah Sastra dan Seni FIB UGM mengenakan pakaian adat nusantara melambangkan kebhinekaan etnis, seni, dan budaya di Indonesia [Foto Ira Khumairoh]
Panitia penyelenggara Malam Anugerah Sastra dan Seni FIB UGM mengenakan pakaian adat nusantara melambangkan kebhinekaan etnis, seni, dan budaya di Indonesia [Foto Ira Khumairoh]
Sebagai produk imajinasi, karya sastra yang baik kerap mengisahkan kehidupan yang melebihi realitanya. Mengutip pendapat Sigmund Freud, lanjut Budi Darma, karya sastra adalah a new kind of reality, merupakan realitas baru.

Sebagai pamungkas acara, kolaborasi kelompok seni Mantradisi dan Sanggar Seni Kinanti mempersembahkan pertunjukan musik Macapat bertajuk “Goro-Goro Diponegoro”. Dalam bait-bait macapat, tergambar dengan jelas tentang pembabakan Perang Jawa. Pecahnya perang tersirat dalam tembang gambuh berjudul Perang Jawa, “tan kena sinelak wus, yuda ngayudane ajer ajur, gangsal warsa sedasa mangsa puniku, ari kalawan mungsuh, satemah pinanggih layon…”. [ira/rts]