Solusi Pelayanan JKN, Dosen FK-KMK UGM Temukan Teknologi Pengobatan Stroke yang Lebih Manjur dan Terjangkau

514

Baca juga: Kisah Mendiang Simbah Iringi Perjalanan Hidup Prof. Adi Heru Sutomo

Terinspirasi dari Pertanyaan Sang Ayah

Penelitian Erna tentang masalah efisiensi pelayanan kesehatan ini, terinspirasi dari almarhum Ayahnya.

Aku entuk resep asam asetilsalisilat dosis cilik, kudu diombe saben dina. Apa perlu?” ujar Erna mengulangi pertanyaan almarhum Ayahnya, ‘Saya dapat resep asam asetilsalisilat dosis rendah, harus diminum setiap hari. Apa perlu?’.

Dia kemudian berusaha mencari jawabannya.

Dia lantas melakukan meta-analysis dari tujuh uji klinik, membandingkan asam asetilsalisat dengan plasebo (dosis 150-200 mg) pada pasien fibrilasi atrial non-katup.

Hasilnya menunjukkan bahwa asam asetilsalisat hanya menurunkan risiko stroke 19 persen.

Erna kemudian membandingkan lagi, obat stroke yang satu dengan yang lain, seperti asam asetilsalisilat plus klopidogrel (dosis 75 mg per hari) dibandingkan asam asetilsalisilat saja (75 mg-100 mg) pada pasien yang tidak bisa menerima warfarin.

Asam asetilsalisilat plus klopidogrel terbukti mampu meredakan stroke.

Baca juga: Anies Baswedan Raih Penghargaan Usai Sterilkan DKI Jakarta dari Korupsi

Namun, ada alternatif bagi pasien yang tidak bisa menerima warfarin yaitu dengan pemberian terapi antiplatelet ganda.

“Dengan demikian asam asetilsalisat bukan merupakan pilihan tepat untuk menurunkan risiko stroke pada fibrilasi atrial non katup dan terbukti tidak cost-effective,” tutur alumnus UGM angkatan 1981 ini.

Sebagai obat alternatif, efektivitas biaya penggunaan antiplatelet dalam menurunkan risiko stroke untuk pasien atrial non-katup dilakukan di berbagai negara.

Namun, setiap negara tidak memberi hasil yang sama, di Kanada antiplatelet (dosis 110-150 mg) terbukti tidak cost-effective, sedangkan di AS semua intervensi terbukti cost-effective. 

Erna mengatakan, dari kasus-kasus tersebut, suatu obat tidak selalu dapat dikatakan cost-effective jika hanya berdasarkan pada biaya pengobatan.

“Dalam konteks pertanyaan almarhum Ayah, Saya menyimpulkan bahwa pemberian asam asetilsalisilat pada pasien dengan filbrilasi atrial non katup untuk menurunkan risiko stroke tidak cost-effective, karena outcome yang diperoleh tidak sebaik obat lain yang menjadi pembandingnya,” ungkap Erna.

Di samping itu, suatu obat yang cost-effective di suatu negara, belum tentu cost-effective juga di negara lain.

“Ini sangat tergantung pada willingness to pay, affordability, serta berbagai faktor yang mempengaruhi outcome,” paparnya. (Kinanthi)

Baca juga: Teknologi Pemanfaatan Batu Bara Bersih Belum Berkembang, Mengapa?