Soal Banjir Jakarta, Pakar UGM Sebut Harus Ada Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu

797

Baca juga: Real Estate di Jakarta Berkembang Pesat, Pakar UGM Usulkan AMDAL Khusus Banjir

“Satu peristiwa di salah satu bagian dari hulu hingga ke hilir, pasti akan berpengaruh ke bagian lainnya,” ujar mantan Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset.

Jika ingin melakukan normalisasi, tetapi limpasan air di hulu tidak dikendalikan, maka banjir akan tetap terjadi.

Hal tersebut akan terjadi pula bila Jakarta tidak bisa mengendalikan ekstrasi air tanah.

Bila besar limpasan air tak terkendali sampai terjadi banjir, kata Budi, maka air yang meresap di tanah akan semakin sedikit.

Jadi, cadangan air di tanah yang bisa dimanfaatkan saat musim kemarau tiba semakin berkurang pula.

“Penting bagi kita untuk mewujudkan keterpaduan antara upaya pemanfaatan air, konservasi air, dan pengendalian banjir,” jelasnya.

Peningkatan populasi seperti Jakarta memicu luas wilayah pemukiman yang semakin besar.

Baca juga: Natuna Tak Akan Pernah Bernasib seperti Pulau Sipadan dan Ligitan

Kemudian hal tersebut ikut memicu bertambahnya industri dan semua itu membutuhkan air.

Budi menegaskan air harus dikonservasi dengan baik.

Perlu diketahui, banjir itu tidak hanya berasal dari hulu saja, tetapi juga dari curah hujan yang tinggi sampai mengakibatkan air menggenang tinggi.

“Curah hujan di Jakarta itu lebih tinggi dari hulunya yaitu sebesar 377 mm/per hari,” tandasnya.

Jika internal drainage di Jakarta tidak mampu mengevakuasi air dengan baik, maka akan terjadi genangan.

Selain manajemen air, diperlukan juga manajemen land use, karena kita membutuhkan daerah resapan air, penyimpanan air.

“Kemudian yang tak kalah penting adalah manajemen manusianya, supaya masyarakat juga turut berpartisipasi dalam pengelolaan sumber daya air,” jelasnya. (Kinanthi)

Baca juga: 4 Resolusi Ganjar Pranowo di Bidang Pendidikan pada 2020, Salah Satunya Gratiskan Biaya Sekolah