Mutu Pelayanan Kefarmasian di Era JKN Belum Ideal, Begini Solusinya

1054

Baca juga: Di Tengah Wabah Corona, Warganet Rindukan Sosok Sutopo Purwo Nugroho

Namun, ternyata Rencana Kebutuhan Obat (RKO) nya belum valid.

“Rencana kebutuhan obat belum bisa menggambarkan kebutuhan riil. Jadi, ternyata ketika sudah ada rencana kebutuhan obat yang dikirim ke Kemenkes, realisasi kebutuhan obatnya jauh berbeda, cenderung lebih banyak,” ujarnya.

Akhirnya, supply untuk obat-obat tertentu terkadang tidak ada, karena perencanaan  dengan realisasi kebutuhan atau penggunaanya berbeda.

Terkait harga obat yang relatif lebih murah, Satibi menyebut ini menjadi tantangan tersendiri bagi industri farmasi.

“Profit industri farmasi jadi cenderung kecil. Hanya memang ketika menang lelang, kapasitas produksi jadi lebih besar, karena kebutuhannya besar.”

Baca juga: Wabah Corona, Gubernur DIY Terapkan Mitigasi Lock Down

“Sejauh ini, yang bisa dilakukan industri farmasi adalah menjalankan strategic overall low cost. E-katalog karena belum efektif, sebaiknya ditinjau ulang,” tandasnya.

Obat erat kaitannya dengan apoteker. Selain ketersediaan obat yang belum efektif, mutu layanan kefarmasian masih jauh dari ideal karena perseberan apoteker yang belum merata.

“Di Jawa banyak perguruan tinggi farmasi, harapannya mereka yang bukan berasal dari Jawa, pulang ke kampung halamannya masing-masing untuk membangun daerahnya,” ungkapnya.

Dia menerangkan, terkadang mencari apoteker di daerah itu sulit, misalnya di Papua.

Indonesia memiliki standar pelayanan kefarmasian dalam PMK 72 Tahun 2016 tentang standar pelayanan farmasi di rumah sakit.

Baca juga: Komitmen KAGAMA Penajam Paser Utara Tanggulangi Wabah Corona