KRA Pringgalaya, Sang Pembuka Era Monarki Parlementer Kasunanan Surakarta

1354

Baca juga: Berbagai Cara Ampuh Melawan Rasa Insecure

“Perdana menteri juga mengurusi soal anggaran, keuangan, belanja dan politik birokrasi,” terangnya.

Purwadi menerangkan, dalam memutuskan suatu kebijakan, patih mesti bermusyawarah dengan Bebadan Kraton.

Bebadan Kraton diisi oleh wakil sentana, wakil abdi dalem, dan wakil pejabat daerah.

Fungsi Bebadan Kraton mirip dengan parlemen. Salah satu kerajaan di Jawa yang disebut Purwadi memakai monarki parlementer adalah Kasunanan Surakarta Hadiningrat.

Di Kasunanan Surakarta, patih mendapat bantuan tenaga tata usaha, staf administrasi dan keamanan. Kantor Kepatihan terpisah dengan komplek istana kraton.

Karena menjalankan kebijakan politik, patih dengan mudah dievaluasi oleh pihak lain, yakni lembaga kepatihan. Lembaga tersebut dinamai dengan wirangka dalem.

Selain itu, ada pula lembaga pemeriksaan keuangan yang menjadi muara pertanggungjawaban pengguna anggaran negara.

Baca juga: Strategi Menjaga Keamanan Pangan Masyarakat di Perdesaan

“Kedudukan patih termasuk kuat, karena mendapat legitimasi politik. Di samping itu pula, patih juga memiliki hubungan dekat dengan raja yang memerintah,” ujar Purwadi.

Cikal bakal kepatihan di Kasunanan Surakarta dimulai pada rentang 1742-1755.

Kala itu, KRA Pringgalaya didapuk sebagai patih ketika pemerintahan masih bernama Kesultanan Mataram.

Untuk diketahui, melalui Perjanjian Giyanti (1755), Kesultanan Mataram terpecah menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Sosok KRA Pringgalaya menurut Purwadi punya kecakapan kerja yang jempolan.

Terutama dalam menjalin relasi bilateral dengan berbagai kerajaan hingga di level internasional.

“Sebagai pejabat senior, KRA Pringgalaya biasa kontak dengan raja Melayu, Cirebon, Banjar, Goa, Talo, Bali, Nusa Tenggara, Ternate, Tidore,” ucap Purwadi.

Baca juga: Enak dan Ramah di Kantong, Es Jaipong Kotabaru Laris Setiap Hari