Nonton dan Diskusi Jejak Demokrasi di Indonesia, Bicarakan Ambiguitas Demokrasi dan Subjektifitas Sejarah

420
Film-film yang diputar merupakan arsip yang berperan sebagai jejak-jejak sejarah.(Foto: Kinanthi)
Film-film yang diputar merupakan arsip yang berperan sebagai jejak-jejak sejarah.(Foto: Kinanthi)

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Pemilu paling demokratis adalah pemilu pada tahun 1955. Sebab, pemerintah mengakomodir semua ideologi.

Demikian topik sejarah perkembangan demokrasi yang diperdebatkan dalam acara Nobar Dab #5: Nonton dan Diskusi Bareng Jejak Demokrasi di Indonesia, di Ruang 225 Sekolah Vokasi UGM.

Digelar oleh Himpunan Mahasiswa D3 Kearsipan (HIMADIKA) UGM, acara ini menghadirkan Mbah Noto (Dosen Fakultas Hukum UGM) sebagai pembicara dan Nicko Mardiansyah (DPC GMNI) sebagai moderator. Film yang diputar kali ini berjudul Sang Idola dari PIKA UGM dan Reformasi Dibajak dari WatchdoC.

Biografi dan perjalanan panjang Notonegoro dikisahkan sebagai orang yang berjasa dibalik adanya Dekrit Presiden. Diceritakan dalam film Sang Idola, Notonegoro merupakan sosok yang tenang dan berhati-hati.

Bisa dibilang Notonegoro adalah perpaduan antara Soekarno dan Mohammad Hatta. Sampai saat ini, kajian filsafatnya tentang pancasila sangat dikenal. Tidak hanya itu, ia pun berhasil mendirikan Fakultas Filfasat UGM. Di samping Dekrit Presiden, Notonegoro mempunyai jasa besar terhadap perkembangan ilmu Filsafat.

Tak kalah menarik dengan film Sang Idola, film Reformasi Dibajak juga menyuguhkan makna cerita yang berhubungan dengan film sebelumnya, meskipun berbeda termin.

Dikisahkan kronologi masa-masa awal pemerintahan Soeharto, sebagai presiden yang memerintah selama 32 tahun. Ia melaksanakan pembangunan kesejahteraan dengan militerisme yang kuat.

Dalam perjalanannya, rezim seringkali menginjak-injak HAM, sehingga program Keluarga Berencana (KB) dan pembangunan peternakan tidak berjalan dengan semestinya. Hal tersebut menjadi titik awal runtuhnya pemerintahan orde baru.

Pasca orde baru ini, muncullah beberapa elite dan konsep politik baru yang justru membuat sebagian dari elite dan masyarakat “mudah lupa” dan terjebak dalam pragmatisme politik. Memasuki masa reformasi pun pelanggaran HAM belum juga diatasi secara optimal, para korban belum memperoleh keadilan.

Bagi Nicko, kedua film ini merupakan refleksi atas 20 tahun reformasi. Bagaimana demokrasi berkembang sejauh ini? Apakah demokrasi yang penuh amarah? Sudahkan benar-benar memperoleh kebebasan?. Ia juga menjelaskan fenomena hoaks yang terjadi pada demokrasi dulu dan hari ini.