Kesepakatan dari PBB yang Bisa Pangkas Terorisme di Indonesia

514

Baca juga: Ibu Menginspirasi Ajeng Jadi Lulusan Tercepat Sekolah Vokasi UGM

Wanita kelahiran Pati, Jawa Tengah, ini menilai, RtoP bisa menuai konflik dalam hukum internasional.

Penyebabnya, ada ketentuan dalam pilar III RtoP yang mewajibkan tindakan intervensi kemanusiaan ketika negara yang bersangkutan tak mampu melindungi populasinya.

Hal tersebut bertentangan dengan prinsip kedaulatan negara, non-intervensi, dan larangan penggunaan norma ini secara paksa.

Di sisi lain, ada kondisi pelanggaran HAM di suatu negara yang mengharuskan pengambilan tindakan secara tegas.

Sasmini pun mengkaji RtoP dengan mendalam sebagai norma hukum internasional yang mengikat negara-negara di dunia.

Dia juga menganalisis institusionalisasi RtoP dalam masyarakat internasional kontemporer.

Hasilnya adalah, RtoP merupakan norma yang bersifat lemah alias soft law dalam hukum internasional berdasarkan kekuatan mengikatnya.

Baca juga: Kisah Dirjen Ali Ghufron Perjuangkan Vaksin Produksi Indonesia sampai Bikin Amerika Keok

Meski begitu, Sasmini meyakini bahwa ada tiga hal yang membuat RtoP diterima seluruh negara di dunia sebagai hukum internasional.

Pertama, RtoP berakar kuat pada perjanjian-perjanjian internasional tentang HAM, hukum humaniter, dan pidana internasional.

Kedua, tanggung jawab untuk mencegah dan menghentikan kejahatan internasional yang menjadi pilar pertama RtoP cenderung diterima masyarakat internasional.

Sebab, itu menjadi kewajiban erga omnes (terhadap semua orang) yang diperkuat dalam yurisprudensi pengadilan internasional.

“Ketiga, RtoP memiliki karakter normatif. Yakni dilandasi oleh nilai-nilai universal yang secara moral hukum mengikat masyarakat internasional untuk melaksanakannya. Nilai-nilai itu menyangkut kemanusiaan dan martabat manusia,” ucap Sasmini menerangkan.

Wanita kelahiran 5 April 1981 ini juga menyebut, RtoP sudah diterima, diinstusionalkan, dan dipraktikkan oleh masyarakat internasional terutama melalui sistem PBB.

Di samping itu, lanjut Sasmini, Indonesia mendukung dan menerima RtoP melalui pernyataan-pernyataan resmi di forum PBB dalam konteks nasional.

Hanya saja, dia menyayangkan lantaran secara eksplisit Indonesia belum mampu mengimplementasikan RtoP, baik itu lewat kebijakan negara, perangkat hukum, maupun kelembagaan yang mendukung.

“Dalam upaya melindungi populasinya dari ancaman kekejian massal, Indonesia semestinya mengimplementasikan RtoP. Hal tersebut dapat dilakukan dengan membangun sistem pencegahan atas kejahatan di bawah lingkup RtoP,” tandas dosen Fakultas Hukum UNS ini. (Tsalis)

Baca juga: Polri Gandeng UGM untuk Tingkatkan Kualitas SDM