Kegiatan Ini Sebabkan Malaria Sulit Dilenyapkan dari Bukit Menoreh

548

Baca juga: Kenangan Rektor UGM Panut Mulyono kepada Almarhum Prof. Iwan Dwiprahasto

Hal tersebut peneliti paparkan dalam jurnal berjudul Tradisi dan Kebiasaan Malam Hari dalam Penerapan Surveilens Migrasi di Bukit Menoreh Tahun 2019, yang diterbitkan oleh UGM Public Health Symposium.

Kegiatan eksplorasi tersebut dilakukan dengan cara observasi dan diskusi kelompok terarah terhadap empat kelompok tiap desa.

Yakni tokoh masyarakat, perangkat desa, kader kesehatan, dan Juru Malaria Desa (JMD), berjumlah 10 orang di setiap kelompok.

Dari diskusi tersebut, masyarakat telah mengetahui dengan baik penyakit malaria. Mulai dari proses penularannya hingga berbagai gejala yang muncul.

Cara pengendalian yang dilakukan sejauh ini yaitu penyemprotan, kelambu, larvasidasi, pembagian repelan, forum malaria, Mass Blood Survey (MBS), Mass Fever Survey (MFS), dan JMD.

Baca juga: Work From Home akibat Corona, Berikut Stok Makanan yang Praktis dan Tahan Lama

“Sebagian masyarakat melakukan ikanisasi dan penanaman pohon penolak nyamuk, serta gerakan bersih-bersih,” tulis peneliti.

Adapun situasi yang digambarkan, terdapat jalan raya di Bukit Menoreh yang merupakan jalan antarkabupaten atau provinsi.

Fasilitas yang disediakan meliputi angkringan, warung kopi, bengkel, masjid, dan bongkar angkut kayu.

Saat malam hari, warga beraktivitas seperti bekerja, berinteraksi di warung kopi atau angkringan, mengikuti pengajian, rewang hajatan, kenduri, hiburan malam, dan sebagainya.

Kegiatan tersebut, kata peneliti, tidak mengenal batas administratif, termasuk sesama warga di komunitas tempat tinggal dengan budaya yang sama, bahkan membesuk penderita malaria antar wilayah.

Baca juga: Es Buah PK, Kesegaran Legendaris Jogja Berbalut Andhap Asor