KAGAMA Marching Band Ajak Mahasiswa Siapkan Soft Skill Hadapi Era Revolusi Industri 4.0

834

Baca juga: Literasi Penting untuk Tangani Penderita Gangguan Kesehatan Mental

Adiet menjelaskan kondisi di berbagai perguruan tinggi yang membuka jurusan sosial terlalu banyak, misalnya Ekonomi dan Hukum.

Padahal jumlah sarjana yang dilahirkan tidak sebanding dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia.

Sementara dari level mikro, kata Adiet, ada incompetence graduates.

Dalam hal ini banyak sarjana yang hanya menguasai teori, tanpa memiliki life skill.

Semasa kuliah, mahasiswa tidak mencoba mengeksplor diri, sehingga tidak memiliki nilai tambah untuk “dijual” kepada recruiter sebuah perusahaan.

“Calon pekerja perlu memiliki work skills, yang terdiri dari hard skill dan soft skill. Kemampuan hard skill didapat dari pendidikan non formal dan hanya digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan tertentu,” jelasnya.

Di era revolusi industri 4.0 ini, soft skill sedang booming di dunia kerja.

Baca juga: Kuliah Sambil Bekerja di Apotek, Ellsya Angeline Jadi Lulusan Terbaik Farmasi UGM

Mengapa menjadi sedemikian penting? Soft skill, kata Adiet, berkaitan erat dengan behavior manusia.

Soft skill bisa membantu manusia bekerja dan bersosialisasi dengan lebih baik.

Bisa dibilang, soft skill cukup aplikatif untuk semua macam pekerjaan dan posisi.

Soft skill tidak akan didapat di sekolah formal. Perlu pelatihan khusus bagi seseorang untuk memiliki soft skill.

Menurut Adiet soft skill menjadi hal utama, karena mengembangkan soft skill dalam diri seseorang tidak mudah, sehingga ini menjadi prioritas rekruiter.

Sedangkan hard skill lebih mudah untuk dikembangkan, karena pelatihannya tidak membutuhkan waktu lama seperti soft skill.

“Kalau nggak punya soft skill, berarti dia sudah gagal saat tahap entrace dalam seleksi karyawan,” ujar pria yang pernah menjabat sebagai HR Director – Asia Pasific BAM International itu.

Baca juga: KAGAMA Harus Ikut Membangun Bantul