Pernak-pernik yang Dipakai dalam Busana Pengantin ala Keraton Surakarta

1681

Baca juga: Startup Jadi Pilihan Fathin Naufal untuk Bantu Masyarakat Terdampak Covid-19

“Sepanjang peradaban Jawa, Karaton Surakarta Hadiningrat amat peduli dengan usaha ngadi salira, ngadi busana. Pelatihan dan pembelajaran tata busana diajarkan secara formal. Angger Angger tata busana dengan ragam pakaian.”

“Serat anggitan dalem serat warni warni dibaca sebagai pedoman utama,” terang alumnus Fakultas Filsafat dan Fakultas Ilmu Budaya UGM ini.

Merujuk narasumber, Purwadi menjelaskan, dalam naskah Serat Erang-Erang yang ditulis Sinuwun Paku Buwana VII pada 1837, ada aturan mengenai upacara, ritual, dan pengajaran.

Lembaga pambiwa adat istiadat bertanggung jawab terhadap tiga hal tersebut dengan menggulirkan program terpadu.

Dalam naskah yang sama, dijelaskan tentang busana pengantin mawi ageman dodot basahan atau kampuhan.

Baca juga: Ganjar Dorong Para Akademisi Muda Ikut Memecahkan Persoalan Kemiskinan di Desa

“Basahan berarti busana kebesaran. Busana keprabon ini untuk tata cara resmi kenegaraan,” tutur Purwadi.

“Ageman dodotan terdiri dari gerbong kandhen, ngumbar kunca, sampir kunca, kepuh ukel. Masing masing digunakan dalam tingkatan hierarkis,” terang dosen Fakultas Bahasa dan Seni UNY ini.

Kata Purwadi, busana basahan sebetulnya merupakan derivasi (turunan) pusaka Bedaya Ketawang.

Macamnya seperti samparan, udhet cindhe puspa cakar, kelat bahu. Adapun bedaya ketawang adalah tarian yang dilakukan dalam upacara jumenengan.

Tata busana ini kemudian kembali ditegaskan oleh Sinuwun Paku Buwana X ada 1893.

Baca juga: Terobosan Ketua KAGAMA Kediri tentang Permasalahan Hunian Keluarga