Jakob Oetama Meninggalkan Warisan Penting dalam Dunia Jurnalistik

1988

Baca juga: Praktik Dinasti Politik Bisa Menjadi Sebuah Tindakan Anarki

Suatu hari pada 1963, seorang pria bernama Petrus Kanisius Ojong mengajaknya membangun Majalah Intisari.

Terinspirasi Majalah Reader’s Digest keluaran Amerika Serikat, mereka berdua mengangkat tema ilmu pengetahuan dan teknologi.

Tak diduga, Majalah Intisari mendapat respons positif dan jadi majalah dengan penjualan paling sukses kala itu.

Majalah Intisari inilah yang nantinya menjadi cikal bakal Harian Kompas, sebuah surat kabar yang mendapat restu dari Presiden Soekarno pada 1965.

Dengan semangat jurnalisme objektif dan netral, Jakob bersama Ojong membawa Kompas konsisten dari waktu ke waktu.

Baca juga: Pemuda Asal Maluku Ini Harus Seberangi Pulau untuk Bisa Ikuti PPSMB UGM 2020 Secara Daring

Kompas menyajikan berita sarat humanisme dan keadilan, kendati sempat mengalami pembredelan pada orde baru.

Hal inilah yang membuat UGM memberikan apresiasi tinggi kepada Jakob pada 17 April 2003.

Lelaki kelahiran Magelang, Jawa Tengah, itu merupakan penerima gelar doktor honoris causa ke-18 UGM.

Dalam pengukuhannya sebagai penerima doktor kehormatan, Jakob menyampaikan pidato setebal 21 halaman berjudul Antara Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna.

“Pencarian makna berita serta penyajian makna berita semakin menjadi pekerjaan rumah dan tantangan media saat ini dan masa depan,” kata Jakob, dalam pidatonya kala itu.

Baca juga: KBRI Moskow Suguhi Warga Rusia Soto Ayam Saat Kembali Gelar Kelas Kebudayaan