Hakikat Manusia Menurut Konfusius dalam Pelaksanaan HAM di Indonesia

157

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Sri Poedjiastoeti, dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Bandung, berhasil meraih gelar doktor ilmu filsafat di Universitas Gadjah Mada. Ia meraih gelar doktor setelah menyelesaikan disertasinya berjudul “Hakikat Manusia Menurut Konfusius dan Relevansinya dengan Pelaksanaan Hak Asasi Manusia di Indonesia.”  Sri dinyatakan lulus oleh tim penguji selepas menjalani ujian terbuka program doktor, Jumat (19/1/2018) di Ruang Sidang Persatuan, Gedung Notonagoro, Fakultas Filsafat UGM.

Disertasi Sri membahas salah satu ajaran Konfusius yang masih relevan hingga saat ini tentang manusia. Menurut Konfusius, manusia adalah makhluk dinamis yang nampak dari berbagai peristiwa yang terjadi dalam kehidupannya. Peristiwa yang dialami manusia beragam dan kerap menemui berbagai persoalan.

Salah satu persoalan yang timbul, yaitu tentang hak asasi manusia (HAM), seperti kekerasan, ketidakadilan, dan intoleransi. Penelitian ini mencoba mengetahui hakikat manusia menurut Konfusius dan menganalisis relevansi hakikat manusia dalam ajaran Konfusius dengan pelaksanaan HAM di Indonesia.

Hasil penelitian Sri menunjukkan bahwa pemikiran Konfusius tentang manusia adalah chun tzu. Chun tzu adalah seseorang yang dapat mewujudkan unsur-unsur dan segala dimensinya sebagai manusia serta menyeimbangkannya dalam kehidupan. Chun tzu bukan lagi merujuk keturunan bangsawan, melainkan sebutan seseorang yang memiliki keutamaan watak dan perilaku.

“Siapa pun dapat disebut Chun tzu melalui proses belajar berdasarkan prinsip jen yang berorientasi internal dan prinsip il yang berorientasi eksternal,” kata Sri.

Selain itu, dalam disertasi Sri dijelaskan bahwa Chun tzu akan bertindak berdasarkan kebajikan dan perannya dalam masyarakat karena Chun tzu mengutamakan hubungan antarmanusia dan kehidupan bermasyakarat yang harmonis. Sementara itu, dalam memenuhi kebutuhannya, Chun tzu tidak melampaui batas dan sesuai dengan keseimbangan atau keadilan. Selanjutnya, menurut Sri, relevansi prinsip tersebut dalam pelaksanaan HAM di Indonesia adalah Chun tzu dapat menjadi salah satu contoh untuk mengolah diri untuk mengatur dan memperbaiki perilaku seseorang.

Sumber : bagian Humas dan Protokol UGM