Peran Kerajaan Nusantara dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia

2492

Perjuangan Kerajaan Nusantara

Dalam rentang ratusan tahun hingga proklamasi, para raja, sultan, dan bangsawan di seluruh kerajaan Nusantara terus berjuang melawan penjajah, kita mengenal nama-nama pahlawan seperti Pangeran Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sultan Ageng Tirtayasa, Sultan Iskandar Muda, Sultan Mahmud Badaruddin, Sultan Nuku, Sisingamangaraja, Hamangkubuwono IX, Pakubuwono X, dan masih banyak lagi. Di Lampung, kita memiliki Pahlawan seperti Pangeran Akmal, Pangeran Ringgo, Pangeran Suhaimi, Radin Intan, Batin Mungunang, Tumenggung Singa Brata, Kyai Ahmad Hanafiah, Ryacudu, dan lain-lain.

Dari uraian itu, kita mengetahui bahwa peristiwa 17 Agustus 1945, merupakan langkah pertama dari bangsa Indonesia yang secara jelas dan tegas menyatakan kemerdekaan, bebas dari pengaruh kolonial. Dan pada saat proklamasi kemerdekaan itu, banyak kerajaan Nusantara yang para raja dan sultannya terus melawan penjajahan, masih eksis berdiri, dan dikemudian hari menyatakan bergabung dengan negara Indonesia yang diproklamasikan.

Dengan demikian, kerajaan-kerajaan Nusantara bisa dianggap sebagai kerangka bangunan negara Indonesia modern. Meskipun hingga proklamasi 1945 kerajaan-kerajaan Nusantara masih eksis, namun kemudian dengan proklamasi, kerajaan-kerajaan Nusantara secara sukarela menyatakan bergabung.

Pernyataan bergabung itu ada yang bersifat legal formal seperti Jogjakarta dan Surakarta serta beberapa kerajaan lain, ada juga yang secara langsung menyesuaikan diri dengan republik. Dengan bergabungnya kerajaan Nusantara itu, maka terbangun Indonesia sebagai negara yang utuh hingga saat ini, 76 tahun sejak proklamasi dinyatakan.

Setelah proklamasi, Indonesia membentuk pemerintahan sendiri, dan memiliki UUD. Dalam UUD 1945 yang disusun oleh para founding fathers terbaca jelas bahwa keinginan bangsa Indonesia untuk mendirikan negara Indonesia modern, namun dengan meresepsi nilai-nilai kebudayaan Nusantara yang bersumber dari kerajaan-kerajaan Nusantara.

Bahkan bangunan politik Indonesia yang memiliki wilayah dari Sabang hingga Merauke merupakan hasil dialog antara Negara Republik Indonesia dengan kerajaan-kerajaan Nusantara.

Bukti bahwa bangun politik Indonesia merupakan hasil dialog dengan kerajaan Nusantara, dapat dilihat dari pengakuan akan eksistensi kerajaan nusantara yang tertulis dalam Penjelasan UUD 1945.

Dalam territoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 zelfbesturende landchappen dan volksgemenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya.

Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli, dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut.

Yang dimaksud dengan zelfbestuurende adalah daerah swapraja yang berhak mengatur pemerintahannya sendiri. Daerah swapraja dalam masa kolonial yang dimaksud dalam penjelasan UUD 1945 tersebut mengacu pada kerajaan-kerajaan Nusantara. Dengan demikian, yang dimaksud dalam “zelfbesturende” dalam penjelasan UUD 1945 adalah kerajaan-kerajaan Nusantara yang masih eksis.

Bentuk pengakuan atas kerajaan-kerajaan Nusantara itu kemudian dijabarkan dalam Undang-undang No 22 tahun 1948, dan dalam Undang-undang No 1 tahun 1957. Pasal 1 ayat (2): Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak, asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat Istimewa dengan Undang-undang pembentukan termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai Daerah Istimewa yang setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa, yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Pasal 18 ayat (5) Kepala Daerah istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dizaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan dan dengan mengingat adat istiadat didaerah itu. Pengaturan sejenis juga dapat ditemui dalam Pasal 25 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1957.