
KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Ganja medis ramai diperbincangan dalam beberapa waktu terakhir setelah viralnya serorang ibu dengan anak penederita cerebral palsy mendesak pemerintah segera melegalkan ganja utuk terapi medis.
Pakar Farmakologi dan Farmasi Klinik UGM, Prof. Apt. Zullies Ikawati, Ph.D., menjelaskan bahwa ganja bisa digunakan untuk terapi atau obat karena didalamnya mengandung beberapa komponen fitokimia yang aktif secara farmakologi.
Ganja mengandung senyawa cannabinoid yang di dalamnya terdiri dari berbagai senyawa lainnya, terutama adalah senyawa tetrahydrocannabinol (THC) yang bersifat psikoaktif.
“Psikoaktif artinya bisa memengaruhi psikis yang menyebabkan ketergantungan dan efeknya ke arah mental,” ungkapnya belum lama ini.
Baca juga: Transtoto: Pemanfaatan Hutan untuk Kesejahteraan Rakyat Tak Harus di Jawa
Lalu senyawa lainnya adalah cannabidiol (CBD) yang memiliki aktivitas farmakologi, tetapi tidak bersifat psikoaktif.
CBD ini dikatakan Zullies memiliki efek salah satunya adalah anti kejang.
Ia menuturkan bahwa CBD telah dikembangkan sebagai obat dan disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) di Amerika.
Misalnya epidiolex yang mengandung 100 mg/mL CBD dalam sirup.
Baca juga: Majapahit Embrio Berdirinya ASEAN, Sebuah Diskursus Meyambut Keketuaan ASEAN-Indonesia 2023
Obat ini diindikasikan untuk terapi tambahan pada kejang yang dijumpai pada penyakit Lennox Gastaut Syndrome (LGS) atau Dravet syndrome (DS) yang sudah tidak berespon terhadap obat lain.
“Di kasus yang viral untuk penyakit cerebral palsy, maka gejala kejang itulah yang akan dicoba diatasi dengan ganja,” ucapnya.