Pancasila dan Dinamika Ideologi | oleh Achmad Charris Zubair

1525
Achmad Charris Zubair, Ketua Kagama Filsafat memberikan pandangannya mengenai Pancasila dan dinamika ideologi. Foto: Ist
Achmad Charris Zubair, Ketua Kagama Filsafat memberikan pandangannya mengenai Pancasila dan dinamika ideologi. Foto: Ist

KAGAMA.CO, BULAKSUMUR – Pada dinamika ilmu dan teknologi yang begitu cepat ini, era globalisme dan kosmopolitanisme, pertanyaan dan pernyataan mengenai Pancasila serta relevansinya sebagai ideologi bangsa dan negara terungkap kembali.

Pernyataan dan pertanyaan itu sangat wajar, apalagi mengingat selama ini Pancasila sering terhenti menjadi slogan dan tidak terlaksana dalam kenyataan.

Pada zaman orde lama, Bung Karno pada masa akhir jabatannya dianggap melanggar Pancasila dan UUD 1945.

Pada zaman orde baru, di bawah kepemimpinan Suharto, zaman di mana ada penataran P4, ada asas tunggal, ada upaya perluasan peran dan fungsi Pancasila tidak sekedar sebagai dasar dan ideologi bangsa tetapi juga sikap moral bangsa, penyelewengan nilai-nilai Pancasila bahkan malah menjadi-jadi.

Kendatipun dengan adanya contoh keruntuhan rezim penyeleweng Pancasila, saya justru mendapatkan kesan betapa “saktinya” Pancasila. Betapa harus kita akui bahwa Pancasila memang sebuah mahakarya para pendiri republik yang sama-sama kita cintai ini.

Ideologi itu sendiri merupakan gagasan dasar dari sebuah komunitas bangsa berdasarkan pandangan hidup dan pengalaman empiriknya untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Tidak dapat disangkal bahwa setiap bangsa dan negara harus memiliki dan mengembangkan sebuah ideologi. Rapuh serta tegarnya bangsa dan negara amat ditentukan oleh kekuatan sebuah ideologi dalam menghadapi tantangan dan ujiannya.

Saya sepakat dengan pandangan Dr. Alfian almarhum bahwa sebuah ideologi harus mampu menjawab tantangan dan ujian dari tiga dimensi; dimensi idealitas, dimensi realitas dan dimensi fleksibilitasnya.

Kita coba sekarang membicarakan ketiga tantangan tersebut dalam konteks Pancasila.

Dari dimensi idealitas mengandung nilai universal yang bermakna dapat diterima dan sesungguhnya kalau “mau” dapat diterapkan di belahan bumi manapun, dalam kurun waktu kapan pun dan oleh siapa pun bangsa di dunia ini.

Ada tiga nilai universal yang bersifat umum yakni nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan dan nilai keadilan. Ketiganya berangkat dari potensi kodrati manusia yang bersifat umum.

Nilai ketuhanan berangkat dari potensi kedudukan kodrati manusia sebagai makhluk yang “dependen” yakni yang tidak dapat ditolak takdir dan ketentuannya seperti asal ras, jenis kelamin, atau dalam batas-batas tertentu tingkat kecerdasan, rentang waktu hidupnya, lahir dan mati pada masa tertentu.

Tetapi di pihak lain manusia juga merupakan makhluk yang bersifat “otonom”, yang mengisyaratkan manusia bukan sekadar makhluk pasif tetapi makhluk aktif bahkan kreatif.

Dalam otonomi juga tersirat adanya kesadaran dan tanggung jawab, segala keputusan tindakan manusia seharusnya dilakukan dengan kesadaran.

Maknanya manusia adalah makhluk yang bertransendensi, ia bukan makhluk antara binatang dengan malaikat, sebab keduanya bukan makhluk kreatif, tetapi manusia adalah makhluk antara makhluk tingkat rendah dengan Khalik yang maha kreatif.

Oleh karena itu nilai ketuhanan menjadi nilai yang manusiawi, sedangkan ateisme merupakan pelanggaran potensi kodrat itu sendiri.

Nilai kemanusiaan bertolak dari susunan kodrat manusia sebagai makhluk jasmani sekaligus ruhani.

Sebagai makhluk jasmani manusia memerlukan pemenuhan kebutuhan jasmani, seperti rasa lapar memerlukan makan, rasa dahaga memerlukan minum, dan kebutuhan jasmani lain seperti pemenuhan hasrat seksual.

Di sisi lain bagi manusia beradab makan, mi-num, hubungan seksual bukan sekedar pemenuhan kebutuhan jasmani semata-mata melainkan harus melibatkan ruhani, kita tidak sembarang memakan yang bukan hak kita, kita tidak berhubungan seksual dengan orang yang tidak kita kenal dan kita sayangi.

Ada kebutuhan seperti perhatian, cinta, berbagi rasa duka dan suka, yang itu bukan jasmani. Manusia akan menjadi rendah martabatnya apabila ia berkutat pada pe¬menuhan kebutuhan jasmani, sehingga melupakan bagian ruhani.

Nilai kemanusiaan akan menjadi bermartabat dan beradab manakala manusia menjadi makhluk yang meruhani, bukan berarti ia meninggalkan kebutuhan jasmaninya, melainkan ia mengangkat kebutuhan jasmani itu ke tingkat ruhani, mendapatkan legitimasi ruhaniah atas pemenuhan ke¬butuhan jasmaninya.

Nilai keadilan bermula dari potensi sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Sebagai makhluk individu, manusia memiliki hak sedangkan sebagai makhluk sosial, manusia menanggung kewajiban. “Keseimbangan” antara hak dan kewajiban merupakan dasar tegaknya keadilan.

Manusia tidak bisa hanya menuntut hak tanpa melaksanakan kewajiban, sebaliknya kita tidak boleh melakukan kewajiban tanpa memahami hak kita, atau kita menuntut kewajiban orang lain dan merampas haknya.

Potensi kodrati manusia di atas masing-masing berwajah dua, tidak bersifat paradoksal apalagi konflik, melainkan komplementer yang bersifat transenden, meruhani dan meluas. Sehingga bersifat ekstrim dengan kecenderungan salah satunya pun menjadi tidak manusiawi.

Pancasila semakin kuat dengan dua tambahan nilai yang sekalipun masih bersifat universal namun lebih mengkhusus dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara yakni nilai nasionalisme dan nilai kerakyatan yang meletakkan kedaulat¬an di tangan rakyat.

Dengan demikian dari sudut tantangan ujian dimensi idealitas, Pancasila memenuhi syarat sebagai sebuah ideologi tangguh. Pengalaman dari kehidupan berbangsa dan bernegara di manapun, bangsa dan negara yang mengorbankan salah satu saja dari nilai-nilai tersebut, runtuh sebagai bangsa dan negara.

Tetapi kalau kita hanya melihat kelebihan Pancasila hanya dari dimensi idealitas semata-mata, yang nota bene tidak ada keberatannya dan sudah teruji, maka kita akan terjebak pada meletakkan Pancasila sebagai “hal” yang tidak aktual bahkan sekedar slogan yang akan menjadi sangat berbahaya kalau hanya dijadikan alat legitimatif bagi penguasa yang cenderung menindas.

Persoalan kita sekarang adalah sejauhmana Pancasila mampu menjawab tantangan dan ujian dimensi realitas. Realitas yang paling menonjol di Indonesia, sebenarnya adalah kemajemuk-an bangsa Indonesia itu sendiri.

Faktor penentunya adalah kenyataan Indonesia yang secara geografis amat luas dan terdiri dari beribu pulau besar maupun kecil, yang dihuni oleh berbagai ras maupun suku bangsa, terdiri dari berbagai agama dan latar belakang kebudayaan.

Maka persoalan serius yang muncul adalah, demi kepentingan kehidupan berbangsa bernegara, di mana keanekaragaman menjadi realitas serta bagaimana menuju persatuan dan kesatuan menjadi masalah yang harus dipecahkan.

Diperlukan sistem norma yang mampu menjadi perangkumnya. Dalam hal ini Pancasila dalam fungsinya sebagai sistem penopang dan pengawal sub-sistem norma yang ada terbukti efektif baik terhadap keberbedaan maupun ke-satu-an Indonesia.

Sebagaimana TB. Simatupang menulis:
“The five principles (Pancasila) are a wide enough umbrella for everybody. Nobody has anything againts them, people can accept them, we can all live together under them” (Soetapa 1991: 236-237).

Sebagai fenomena filosofis-ideologis, pada dasarnya Pan¬casila amat merangsang untuk diteliti. Salah satunya justru terletak pada efektivitas Pancasila itu sendiri dalam kemam-puannya menanggulangi setiap usaha yang “merusak” keanekaragaman Indonesia.

Sebagai suatu landasan filsafati bangsa, ideologi bangsa serta dasar negara yang salah satu fungsinya mempersatukan keanekaragaman serta keberbe¬daan bangsa, Pancasila terbukti mampu melakukannya.

Yang selalu harus dibuktikan secara terus menerus adalah sejauhmana Pancasila mampu teruji dari dimensi fleksibilitas. Ungkapan Pancasila sebagai ideologi terbuka pada dasarnya merupakan keinginan untuk menunjukkan kemampuan Pancasila teruji dalam dimensi fleksibilitas.

Perubahan pada dasarnya juga merupakan hal yang manusiawi sebagi makhluk kreatif. Dunia selalu mengalir, dalam bahasa filsafatnya, “Panta Rhei”. Perubahan yang terjadi pada bangsa dan negara Indonesia selama ini memang ada yang bersifat alamiah, akulturatif dan memang merupakan perubahan yang direnca¬nakan.

Perubahan alamiah adalah perubahan bangsa dan ne¬gara yang tumbuh dan berkembang karena sifat bangsa dan negara itu sendiri sebagai bagian alam yang harus tumbuh dan mengalami perubahan. Perubahan alamiah oleh karena itu tidak menimbulkan konflik yang berarti.

Akulturatif karena pergaulan antar bangsa, walaupun ada pula akluturasi yang nyaris tidak seimbang karena dominasi kultur satu terhadap yang lain seperti dalam globalisasi.

Pembangunan me-rupakan salah satu bentuk perubahan yang direncanakan, tujuan utamanya menghapuskan kemiskinan, mengejar ketertinggalan dan modernisasi. Paradigma pembangunan yang keliru, seperti misalnya meletakkan faktor ekonomi sebagai tumpuan utama tanpa memperhatikan faktor perubahan sosial dan moral serta standard tunggal kemajuan dan mod¬ernisasi, justru dapat membahayakan Pancasila itu sendiri.

Saya tidak bermaksud menghasut, tetapi kenyataan bahwa pembangunan selama ini yang “muara”nya justru pada krisis moneter dan kebangkrutan ekonomi, ukuran modern yang melulu “amerikanisasi”, utang luar negeri yang nyaris tak terbayar.

Semuanya mengindikasikan adanya kesalahan para¬digmatik dalam pembangunan itu sendiri. Dengan demikian nilai-nilai Pancasila telah tercabik-cabik sendiri oleh bangsa yang mengaku berpancasila. Manusia Indonesia sendiri yang telah mengkhianati Pancasila sebagai amanat paling luhur dari para pendiri republik, para pejuang yang telah berkorban darah, harta dan air mata.

Sebagai penutup, saya selaku akademisi mengajak teman-teman untuk melakukan kegiatan penelitian yang kelak akan ditindak lanjuti dengan kegiatan pengamalan, sehingga generasi sekarang maupun mendatang lebih mantap ber Pancasila, dalam hal-hal sebagai berikut:

(1) Mendokumentasikan karya-karya tokoh bangsa yang telah dirumuskan secara eksplisit baik tertulis mau pun lisan, secara sistematik-metodik, dan dipertanggung jawabkan secara kritis.

(2) Mendokumentasikan karya-karya sastra, kesenian, arsitektur, tata lingkungan buatan, legenda-legenda yang hidup dan berkembang dalam bahasa tulisan maupun lisan.

(3) Inventarisasi bahan berupa pemahaman masyarakat yang telah dirumuskan secara eksplisit baik tertulis maupun lisan, namun lebih merupakan slogan, pepatah, peribahasa, syair-syair lisan, daripada berupa uraian sistematik-metodik.

(4) Inventarisasi pemahaman masyarakat yang mungkin su¬dah terungkap secara fragmentaris, tetapi masih bersifat implisit, yaitu tersembunyi dalam gejala-gejala hidup bersama dalam masyarakat, tercermin dalam sikap dan kelakuan masyarakat.

(5) Melakukan komparasi kritis antara Pancasila dengan ideologi yang berkembang pada bangsa dan negara lain. Atau bahkan penelitian kontekstual mengenai Pancasila baik sebagai dasar, pandangan hidup, ideologi, maupun filsafat bangsa dan negara menghadapi perubahan.

Akhirnya tujuan utama dari upaya penelitian tentang Pan¬casila di atas, setidak-tidaknya meliputi 4 (empat) hal:

(1) Mengeksplisitasikan dan merumuskan secara jelas konsepsi-konsepsi dasar, pandangan-pandangan dasar masyarakat dan bangsa Indonesia.

(2) Mensistematisasikan semua unsur yang membentuk pandangan dasar tersebut, dengan demikian terben¬tuk suatu struktur dan keterarahan yang menyeluruh mengenai filsafat (bangsa) Indonesia.

(3) Melihat sejauhmana konsistensi logis dalam pandang¬an dasar tersebut sebagai daya praktis untuk kebudayaan Indonesia dalam arti menyeluruh dan luas. Apakah terjadi keterputusan sub-sistem atau tidak selama ini. Utamanya yang tercermin dalam si-kap, tingkah laku, keputusan tindakan, serta hasil tindakan masyarakat atau bangsa Indonesia.

(4) Melihat sejauhmana Pancasila baik sebagai dasar, ideologi, pandangan hidup, filsafat bangsa dan negara Indonesia teruji dari dimensi idealitas, realitas, maupun fleksibilitas.

Terakhir, tentu saja pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen, sebuah ungkapan yang seringkali “mem¬bosankan”, hanya bisa didukung oleh pemahaman dan peng¬amalan agama serta sikap keteladanan terutama dari para pemimpin bangsa itu sendiri.[]

 

*oleh Achmad Charris Zubair, Ketua Kagama Filsafat