Ade Siti Barokah Bercerita soal Problem yang Dihadapinya saat Dampingi Kelompok Marjinal

977

Baca juga: Pesan Wakil Sekjend PP KAGAMA kepada Lulusan Baru dalam Mencari Kerja di Era Pandemi

“Tantangan terbesar yang dihadapi kelompok yang kami dampingi banyak sekali. Misalnya, dalam penyelenggaraan program, kami dilarang bertatap muka sejak Maret,” kata Ade.

“Kami menghentikan semua kegiatan offline. Lalu kami mendapatkan semacam SOP untuk menggelar semua kegiatan secara daring.”

“Mahasiswa mungkin bisa, anak-anak sekolah mungkin masih lumayan. Namun, bayangkan untuk kelompok dampingan kami, handphone saja tidak punya,” beber alumnus Sosiologi UGM angkatan 1996 ini.

Bagi mereka, handphone adalah barang mewah, hanya satu dua orang saja yang punya.

Bukan cuma itu, sebagian besar kelompok yang didampingi Ade dan timnya berada di daerah yang tak ramah sinyal internet.

Baca juga: Petrus Kasihiw Sabet Penghargaan dalam The Best Indonesian Innovative Figures Awards 2020

Seperti masyarakat yang tinggal dataran tinggi Pipikoro, Sigi, Sulawesi Tengah. Lalu warga Desa Meurumba di Kabupaten Sumba Timur, dan warga Desa Boti di Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Karena itu, tak mungkin bagi Ade dan teman-temannya untuk menjangkau komunitas tersebut tanpa datang secara langsung.

“Kami harus datang kesana baik teman-teman fasilitator yang di kabupaten maupun yang memonitoring dari Jakarta,” ujar Ade.

“Tidak mungkin kami telepon dan melakukan pendataan dari Jakarta, duduk manis di belakang meja. Itu tak pernah terjadi selama ini.”

“Kami harus naik ojek 3-4 jam untuk bisa menjangkau mereka,” ujar perempuan asal Wonogiri ini.

Baca juga: Kisah Stefanie Juergens yang Temukan Belahan Hatinya di Kampus Kedokteran UGM