Pakar Hukum Alumnus UGM Jelaskan Kenapa Tren Calon Tunggal Meningkat pada Pilkada 2020

703

Baca juga: Dubes Salman Tunjuk Konsul Kehormatan untuk Perkuat Diplomasi Ekonomi Indonesia di Afrika Selatan

Pemilihan langsung tentu berpotensi mengulang proses ketika dimenangi kolom kosong.

Sehingga, pemilihan langsung, yang dalam kaca mata Iwan disebut demokrasi liberal, boros karena menghabiskan dana hingga Rp82 miliar.

Kata Iwan, Presiden Soekarno pada awalnya tidak setuju dengan demokrasi liberal dengan pemilihan langsung. Penyebabnya adalah, masyarakat Indonesia belum siap.

Sebetulnya, pemilihan langsung digelar agar memunculkan banyak alternatif pemimpin. Sehingga, masyarakat bisa memilih salah satu yang terbaik.

Namun, yang terjadi di banyak daerah adalah calon tunggal melawan kolom kosong.

Baca juga: Kebijakan Hijau pada Minyak Kelapa Sawit Ternyata Tidak Semata-mata untuk Penyelamatan Lingkungan

Pada Pilkada 2020 yang digelar secara serentak di seluruh Indonesia, tercatat ada 25 daerah dengan calon tunggal.

“Ada tren peningkatan calon tunggal pada PIlkada sejak 2015. Dari tiga (2015), sembilan (2017), 16 (2018), dan 25 daerah (2020),” ujar Iwan.

“Walaupun saya dengar ceramah dari Kepala KPU ada 28 calon tunggal (pada tahun ini),” jelas pria kelahiran 6 Juli 1970 ini.

Iwan melihat, kenaikan tren calon tunggal terjadi karena beberapa hal. Pertama, ada banyak parpol (partai politik) di daerah yang tak punya calon kuat.

Sehingga, mereka akan lebih berpikir realistis untuk menghindari habis uang yang tidak sedikit dengan potensi kekalahan.

Baca juga: Lulusan Magister HI UGM Ini Pilih Bangun Pendidikan di Timor-Leste ketimbang Jadi Staf Kedutaan